Tolok ukur untuk tiga sudut pandang Ekonomis, Moral dan Hukum
Bagaimana kita tahu bahwa bisnis itu baik menurut tiga sudut pandang tadi?
Apa yang menjadi tolok ukurnya?
Untuk sudut pandang ekonomis, pertanyaan ini tidak sulit untuk dijawab. Secara ekonomis, bisnis adalah baik, kalau menghasilkan laba. Hal itu akan tampak dalam laporan akhir tahun, yang harus disusun menurut metode kontrol finansial dan akuntansi yang sudah baku.
Untuk sudut pandang hukum pun, tolok ukurnya cukup jelas. Bisnis adalah baik, jika diperbolehkan oleh sistem hukum. Penyelundupan, misalnya, adalah cara berdagang yang tidak baik, karena dilarang oleh hukum. Contoh ini cukup menarik, karena tergantung pada cara diaturnya sistem ekonomi. Dalam sistem ekonomi pasar bebas yang konsekuen, malah tidak mungkin terjadi penyelundupan. Jika kadang kala kita ragu-ragu tentang boleh tidaknya suatu tindakan bisnis menurut segi hukum, kita bisa mengajukan masalah ini ke pengadilan dan minta keputusan hakim.
Lebih sulit untuk menentukan baik tidaknya bisnis dari sudut pandang moral. Apa yang menjadi tolok ukur untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan atau tingkah laku? Setidak-tidaknya dapat disebut tiga macam tolok ukur: hati nurani, Kaidah Emas, penilaian masyarakat umum. Mari kita memandang tiga prosedur untuk memastikan kualitas etis suatu perbuatan ini dengan lebih rinci.
Hati nurani
Suatu perbuatan adalah baik, jika dilakukan sesuai dengan hati nurani, dan suatu perbuatan lain adalah buruk, jika dilakukan bertentangan dengan suara hati nurani. Dalam bertindak bertentangan dengan hati nurani, kita meng-hancurkan integritas pribadi, karena kita menyimpang dari keyakinan kita yang terdalam. Hati nurani mengikat kita dalam arti, kita harus melakukan apa yang diperintahkan hati nurani dan tidak boleh melakukan apa yang berlawanan dengan suara hati nurani. Hati nurani kita miliki sebagai manusia. Karena itu setiap orang mempunyai hati nurani, termasuk juga orang yang tidak beragama. Tetapi bagi orang beragama hati nurani mempunyai arti khusus. Kalau dia mengambil keputusan moral atas dasar hati nurani, keputusannya diambil "di hadapan Tuhan". Ia insaf dengan itu memenuhi kehendak Tuhan atau justru melanggar perintah Tuhan.
Dalam kasus 1 (Industri kimia) rupanya Marc Jones ingin bertindak menurut hati nuraninya. Apakah atasannya, Kevin Lombard, juga mengikuti tuntutan hati nuraninya? Apakah menurut hati nurani ia bisa membiarkan risiko besar bagi anak buahnya dan lingkungan hidup, demi meningkatkan produk-tivitas? Dan dalam kasus 2 (Pemasok komputer), apakah kepala bagian pemasaran bertindak sesuai dengan hati nurani, bila ia mendiamkan saja bahwa barangkali ia tidak dapat melaksanakan pesanan dalam batas waktu seperti diharapkan dan diandaikan? Apakah hati nuraninya mengizinkan membuat janji yang barangkali tidak bisa ditepati?
Sebagaimana ditunjukkan oleh kasus-kasus serupa ini, dalam dunia bisnis suara hati nurani mudah dininabobokan oleh keinginan memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Tergiur oleh keinginan ini, orang malah bisa berbohong tentang suara hati nuraninya. Ia bisa saja mengatakan bahwa hati nurani meng-izinkan sesuatu, padahal hati nuraninya justru melarang. Kita tidak pemah bisa melihat ke dalam hati nurani seseorang. Dan orang beragama tidak jarang bersedia saja mengambil risiko akan disiksa dalam neraka di akhirat (atau bertaruh akan menerima pengampunan Tuhan pada akhir hidupnya), jika ia berhadapan dengan kesempatan memperoleh keuntungan besar, kendatipun dengan cara yang tidak halal.
Hati nurani memang merupakan norma moral yang penting, tetapi sifatnya subyektif, sehingga tidak terbuka untuk orang lain. Pertanyaan apakah hati nurani mengizinkan atau tidak, hanya bisa dijawab oleh orang bersangkutan.
Apalagi, hati nurani hanya bisa dipakai sebagai pegangan, kalau terbentuk dengan baik. Tidak semuanya yang dikatakan hati nurani bisa diandalkan dari segi moral. Hati nurani yang berbicara dengan jujur pun bisa tersesat, karena terbentuk atau terdidik dengan kurang tepat. Bahkan bisa terjadi orang fanatik melakukan kejahatan, seperti misalnya pembunuhan, yang katanya di-lakukannya atas dorongan hati nurani. Hati nurani yang tidak dididik dengan semestinya bisa menjadi terlalu longgar atau malah tumpul sama sekali.
Karena alasan-alasan ini hati nurani sebagai norma moral sering kali sulit dipakai dalam forum umum dan harus dilengkapi dengan norma-norma lain. Salah satu contoh konkret adalah pengakuan hak milik intelektual. Masalah etis ini sulit diselesaikan atas dasar hati nurani saja. Banyak orang yang tanpa ragu-ragu akan menghormati milik fisik seseorang (seperti dompetnya) tidak akan merasa keberatan dalam hati nurani bila "mencuri" hak cipta pengarang, komponis, atau pembuat perangkat lunak, hak merek dagang, hak paten, dan sebagainya. Walaupun mereka mengakui hak milik fisik sebagai hal yang lumrah, mereka tidak begitu menghiraukan hak milik intelektual. Namun demi-kian, hak terakhir ini pun merupakan hasil jerih payah seseorang. Bandingkan kasus 5 ("Live Aid") dan 6 (Merek dagang Nike).
Kaidah Emas
Cara lebih obyektif untuk menilai baik buruknya perilaku moral adalah mengukurnya dengan Kaidah Emas yang berbunyi: "Hendaklah memperlakukan orang lain sebagaimana Anda sendiri ingin diperlakukan". Perilaku saya bisa dianggap secara moral baik, bila saya memperlakukan orang tertentu sebagaimana saya sendiri ingin diperlakukan. Mengapa begitu? Karena saya (dan setiap orang) tentu menginginkan agar saya diperlakukan dengan baik. Nah, saya harus memperlakukan orang lain dengan cara demikian pula. Kalau begitu, saya berperilaku dengan baik (dari sudut pandang moral).
Kaidah Emas dapat dirumuskan dengan cara positif maupun negatif. Tadi diberikan perumusan positif. Bila dirumuskan secara negatif, Kaidah Emas berbunyi: "Janganlah melakukan terhadap orang lain, apa yang Anda sendiri tidak ingin akan dilakukan terhadap diri Anda". Saya kurang konsisten dalam tingkah laku saya, bila saya melakukan sesuatu terhadap orang lain, yang saya tidak mau akan dilakukan terhadap saya sendiri. Kalau begitu, saya berperilaku dengan cara tidak baik (dari sudut pandang moral).
Seandainya Kevin Lombard dalam kasus 1 (Industri kimia) menjadi pekerja biasa di pabrik kimia itu, apakah ia akan setuju bila atasannya membiarkan risiko besar bagi keselamatannya? Dan kepala bagian penjualan dalam kasus 2 (Pemasok komputer) bisa tanyakan: seandainya saya membeli komputer seperti pemesan PT W.V.K. ini, apakah saya akan merasa senang, bila tidak diberitahukan bahwa pesanan barangkali tidak dapat dijalankan sebagaimana saya harapkan? Tentu tidak. Saya akan sangat repot, karena seluruh sistem komputer harus diganti dalam jangka waktu satu tahun. Saya tentu tidak akan menginginkan perusahaan saya mengalami kerugian karena alasan itu.
Pimpinan perusahaan asbes Amerika (kasus 3) tidak akan menginginkan ia sendiri diperlakukan sebagaimana ia memperlakukan pekerja-pekerja di negara Afrika Barat itu. Ia malah melakukan sesuatu yang menurut peraturan hukum Amerika tidak boleh dilakukan di negerinya sendiri. Mungkin pemerintah negara Afrika Barat itu setengah terpaksa menutup mata bagi risiko kesehatan kerja yang akan dialami para pekerja. Tetapi perusahaan Amerika tahu bahwa sikap itu tidak betul, terutama bila melihat jangka waktu lebih panjang.
Dalam kasus 4 pun dapat kita terapkan Kaidah Emas. Negara-negara kecil seperti Swiss dan Luxemburg begitu menekankan kerahasiaan bank dengan harapan dapat menarik banyak dana. Dalam hal ini mereka tidak peduli ter¬hadap kemungkinan asal-usul kriminal dari dana tersebut. Seandainya ada negara lain yang memperlakukan mereka dengan cara itu, mereka pasti tidak setuju. Mereka tidak akan senang bila kriminalitas di negara mereka sendiri dilindungi oleh negara lain.
Lebih menarik lagi memanfaatkan Kaidah Emas dalam kasus 5 ("Live Aid") dan 6 (Merek dagang Nike). Kalau tentang dua kasus hak milik intelektual ini hati nurani umumnya tidak memberi kepastian, lebih sulit untuk menyangkal tuntutan dari Kaidah Emas. Seandainya saya sendiri pencipta kaset "Live Aid", apakah saya akan menerima saja bahwa orang lain membajak lagu ciptaan saya, atau seandainya saya pemilik merek dagang yang sukses, apakah saya tidak keberatan bahwa orang lain menggunakan merek saya? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa diragukan. Kalau diukur dengan Kaidah Emas, akan tampak dengan jelas bahwa perilaku orang dalam dua kasus ini tidak etis.
Penilaian umum
Cara ketiga dan barangkali paling ampuh untuk menentukan baik buruk-nya suatu perbuatan atau perilaku adalah menyerahkannya kepada masyarakat umum untuk dinilai. Cara ini bisa disebut juga "audit sosial". Sebagaimana melalui "audit" dalam arti biasa sehat tidaknya keadaan finansial suatu perusahaan dipastikan, demikian juga kualitas etis suatu perbuatan ditentukan oleh penilaian masyarakat umum. Di dini perlu digarisbawahi secara khusus pentingnya kata "umum'. Tidak cukup, bila suatu masyarakat terbatas menilai kualitas etis suatu perbuatan atau perilaku. Sebab, mungkin mereka mempunyai vested interests, sehingga cenderung membenarkan saja perilaku yang menguntungkan mereka, sambil menipu dirinya sendiri tentang kualitas etis-nya. Barangkali masyarakat Swiss (kasus 4) tidak berkeberatan pemerintah mereka mempertahankan terus undang-undang kerahasiaan bank yang ketat, karena hal itu merupakan salah satu faktor penting untuk menjamin kemakmuran negara mereka, sekalipun dengan itu diambil risiko melindungi dana yang berasal dari kalangan kriminal. Barangkali masyarakat Amerika (kasus 3) juga tidak begitu peduli, kalau pabrik asbes dan industri berbahaya lainnya dipindahkan ke negara-negara berkembang di Afrika. Dengan itu mereka mungkin malah memberi kesan membantu negara yang ekonominya masih lemah. Dengan demikian kesehatan para pekerja Amerika tidak dibahayakan dan ekonomi Amerika dalam sektor itu tetap terjamin, karena mereka masih menguasai industri tersebut.
Sejauh masyarakat yang menilai masih terbatas, hasil penilaiannya mudah bersifat subyektif, karena dilihat melalui kacamata kelompok atau negara tertentu. Guna mencapai suatu tahap obyektif, perlulah penilaian moral dijalankan dalam suatu forum yang seluas mungkin. Karena itu "audit sosial" menuntut adanya keterbukaan. Tingkah laku yang kurang etis pada umumnya dilakukan dengan tersembunyi. Perbuatan serupa itu tidak pantas dilihat atau diketahui oleh umum dan karenanya dengan sengaja disembunyikan. Sebaliknya, tingkah laku yang baik secara moral tidak menakuti transparansi. Orang yang berkelakuan etis bersedia membukakan perbuatannya bagi penilaian masyarakat umum. Manusia itu makhluk sosial dan perilakunya selalu mempunyai dimensi sosial. Perilaku sosial itu bersifat baik secara moral, bila tahan uji dalam audit sosial. Perilaku bersifat buruk secara moral, bila secara umum dinilai sebagai tidak baik.
Mungkin tidak semua orang akan menyetujui pandangan ini. Terutama mereka yang menganut relativisme moral, akan menegaskan bahwa dalam masyarakat yang berbeda nilai-nilai dan norma-norma moral bisa berbeda juga. Sebagai contoh sering disebut praktek-praktek korupsi. Di banyak negara maju, seperti Amerika Serikat atau Jerman, korupsi ditolak dengan tegas dan dinilai tidak etis. Sedangkan di banyak negara berkembang korupsi merajalela dan dianggap sebagian dari bisnis normal. Kami di sini tidak bermaksud membahas secara tuntas masalah relativisme moral. Barangkali dapat diterima bahwa masyarakat yang berbeda dalam beberapa hal memang mempunyai nilai dan norma yang berbeda pula. Contoh yang sering dikemukakan: dalam dunia bisnis di Jepang nilai yang tertinggi adalah kesetiaan karyawan pada perusahaan, sedangkan di Amerika Serikat nilai tertinggi adalah kebebasan individual.
Contoh seperti itu bisa disetujui. Tetapi lebih sulit diterima bahwa korupsi merupakan suatu masalah perbedaan nilai saja. Alasannya, praktek-praktek korupsi tidak pernah transparan. Biaya tambahan akibat korupsi adalah "biaya siluman". Praktek-praktek seperti pungli, uang pelicin, komisi tidak resmi, dan sebagainya, selalu disembunyikan terhadap "audit sosial". Orang yang terlibat di dalamnya menghindari keterbukaan. Mereka tidak mau memberikan kuitansi atau tanda terima lainnya. Uang hasil korupsi dengan sengaja tidak dicantumkan dalam pembukuan. Perbuatan mereka tidak boleh diabadikan dengan kamera foto atau video. Audit sosial sebagai tolok ukur moral justru menunjukkan bahwa tidak ada negara atau kebudayaan apa pun yang me-nerima korupsi sebagai sesuatu yang baik atau bahkan netral secara moral. Audit sosial memperlihatkan bahwa korupsi (sesuai dengan asal-usul kata ini dari bahasa Latin: comtptio = kebusukan) selalu merupakan suatu hal yang tidak baik.
Dapat disimpulkan, supaya patut disebut good business, tingkah laku bisnis harus memenuhi syarat-syarat dari semua sudut pandang tadi. Memang benar, bisnis yang secara ekonomis tidak baik (jadi, tidak membawa untung) tidak pantas disebut bisnis yang baik. Tidak ada orang yang dengan serius akan mempersoalkan hal itu. Terdapat lebih banyak keraguan tentang perlunya sudut pandang kedua dan ketiga. Bisnis tidak pantas disebut good business, kalau tidak baik dari sudut etika dan hukum juga. Dalam hal ini pentingnya aspek hukum lebih mudah diterima, sekurang-kurangnya pada taraf teoretis (walaupun dalam praktek barangkali sering dilanggar). Blog ini ingin mempelajari aspek etika dalam perilaku bisnis, tanpa meremehkan pentingnya aspek-aspek lain. Sebagaimana akan menjadi jelas selanjutnya, sekarang ini di banyak tempat diakui relevansi dan bahkan urgensi untuk menyoroti bisnis dari segi etika.