Apa itu etika bisnis? Pengertian Etika Bisnis
Apa itu etika bisnis?
Ditinjau dari segi kata "etika" dan "etis" tidak selalu dipakai dalam arti yang sama oleh karena itu pula "etika bisnis" bisa berbeda artinya. Sebuah uraian sistematis tentang etika bisnis sebaiknya diawali dengan menyelidiki dan menjernihkan cara kata seperti "etika" dan "etis" dipakai. Perlu diakui, ada beberapa kemungkinan yang tidak seratus persen sama (walaupun perbedaannya tidak seberapa) untuk menjalankan penyelidikan ini.
Cara yang kami pilih untuk menganalisis arti-arti "etika" adalah membedakan antara "etika sebagai praktis" dan "etika sebagai refleksi".
Maksud Etika sebagai praksis yaitu : nilai-nilai dan norma-norma moral yang harusnya dipraktekkan justru tidak dipraktekkan, walaupun seharusnya dipraktekkan. Bisa juga dikatakan, etika sebagai praksis adalah apa yang dilaksanakan sejauh sesuai atau tidak sesuai dengan nilai dan norma moral. Mungkin kita sering membaca kalimat-kalimat seperti ini: "Dalam dunia modern, etika bisnis mulai menipis", "Ada unsur tidak etis dalam akuisisi internal", "Semakin terasa urgensi membangun etika bisnis", "Tegakkan etika bisnis dengan Undang-Undang Anti Korupsi", dan sebagainya. Semua kalimat ini diambil dari surat kabar dan hampir setiap hari kita bisa membaca kalimat-kalimat sejenis. Perlu kita perhatikan maksud kata "etika" atau "etis" dalam contoh-contoh ini. Orang yang mengeluh karena etika bisnis mulai menipis, dengan maksud bahwa pebisnis sering menyimpang dari nilai dan norma moral yang benar, jadi ia menunjuk kepada etika sebagai praksis. Orang yang berbicara tentang akuisisi internal, menyatakan keraguannya tentang kualitas etis dari tindak bisnis itu.
Walaupun dirumuskan dengan agak hati-hati, ia menduga bahwa akuisisi internal tidak sesuai dengan nilai dan norma moral yang semestinya berlaku dalam dunia bisnis. Orang yang memikirkan masalah korupsi, berpendapat bahwa dengan membuat undang-undang anti korupsi dan menerapkan undang-undang itu secara ketat dan konsekuen, nilai dan norma moral dalam bisnis bisa ditegakkan. Etika sebagai praksis sama artinya dengan moral atau moralitas: apa yang harus dilakukan, tidak boleh dilakukan, pantas dilakukan, dan sebagainya.
Walaupun dirumuskan dengan agak hati-hati, ia menduga bahwa akuisisi internal tidak sesuai dengan nilai dan norma moral yang semestinya berlaku dalam dunia bisnis. Orang yang memikirkan masalah korupsi, berpendapat bahwa dengan membuat undang-undang anti korupsi dan menerapkan undang-undang itu secara ketat dan konsekuen, nilai dan norma moral dalam bisnis bisa ditegakkan. Etika sebagai praksis sama artinya dengan moral atau moralitas: apa yang harus dilakukan, tidak boleh dilakukan, pantas dilakukan, dan sebagainya.
Etika sebagai refleksi adalah pemikiran moral. Dalam etika sebagai refleksi kita berpikir tentang apa yang dilakukan dan khususnya tentang apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Etika sebagai refleksi berbicara tentang etika sebagai praksis atau mengambil praksis etis sebagai obyeknya. Etika sebagai refleksi menyoroti dan menilai baik buruknya perilaku orang. Etika dalam arti ini dapat dijalankan pada taraf populer maupun ilmiah. Dalam surat kabar atau majalah berita hampir setiap hari dapat kita baca komentar tentang peristiwa-peristiwa yang berkonotasi etis: perampokan, pembunuhan, kasus korupsi, dan banyak lain lagi. Dan setiap hari ada banyak sekali orang yang membicarakan peristiwa-peristiwa itu.
Mereka semua melibatkan diri dalam etika sebagai refleksi pada taraf populer. Tetapi etika sebagai refleksi bisa mencapai taraf ilmiah juga. Hal itu terjadi, bila refleksi dijalankan dengan kritis, metodis, dan sistematis, karena tiga ciri inilah membuat pemikiran mencapai taraf ilmiah. Pemikiran ilmiah selalu bersifat kritis, artinya tahu membedakan antara yang tahan uji dan yang tidak tahan uji, antara yang mempunyai dasar kukuh dan yang mempunyai dasar lemah. Pemikiran ilmiah bersifat metodis pula, artinya tidak semrawut tetapi berjalan secara teratur dengan mengikuti satu demi satu segala tahap yang telah direncanakan sebelumnya. Akhirnya, pemikiran ilmiah bersifat sistematis, artinya tidak membatasi diri pada salah satu sisi saja tetapi menyoroti suatu bidang sebagai keseluruhan, secara komprehensif.
Sebetulnya distingsi antara praksis dan refleksi ini tidak menandai paham "etika" saja. Di bidang lain pun terkadang bisa kita berbicara tentang praksis di samping refleksi (ilmu). Contoh jelas adalah ekonomi. Dengan "ekonomi" kita maksudkan kegiatan jual-beli; membelanjakan dan menerima uang; memproduksi, mendistribusikan, dan membeli barang. Arti itu kita maksudkan, bila kita katakan umpamanya bahwa ekonomi di suatu daerah sedang lesu atau bahwa suatu negara dilanda resesi ekonomi. Tetapi kata "ekonomi" mempunyai juga arti "ilmu". Mata pelajaran ekonomi merupakan refleksi ilmiah atas kegiatan ekonomi dalam arti praksis. Ahli ekonomi adalah ilmuwan yang belum tentu secara langsung melibatkan diri dalam ekonomi sebagai praksis. Ekonomi sebagai praksis dan ekonomi sebagai ilmu jelas harus dibedakan, biarpun tentu ada hubungan erat. Demikian halnya juga dengan etika.
Etika sebagai ilmu mempunyai tradisi yang sudah lama. Tradisi ini sama panjangnya dengan seluruh sejarah filsafat, karena etika dalam arti ini merupakan suatu cabang filsafat. Karena itu etika sebagai ilmu sering disebut juga filsafat moral atau etika filosofis. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani kuno etika filosofis sudah mencapai mutu yang mengagumkan pada Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Dan tradisi ini berlangsung terus selama 25 abad lebih, sampai pada hari ini.
Hal itu tentu tidak berarti bahwa etika filosofis ingin memiliki monopoli dalam membahas topik-topik moral. Banyak masalah etis dibicarakan pada taraf populer dan ha! itu selalu akan terjadi. Ilmu lain juga bisa menyinggung masalah-masalah etis, walaupun hanya sepintas lalu, misalnya, ilmu-ilmu sosial. Tetapi hanya dalam etika filosofis, topik-topik moral dibahas secara tuntas dengan metode dan sistematika khusus yang sesuai dengan bidang moral itu. Sebagai contoh dapat disebut topik keadilan. Masalah-masalah keadilan banyak sekali dibicarakan dalam masyarakat dan bukan saja dibicarakan, tetapi sering menjadi juga obyek perjuangan dan aksi sosial. Sepanjang sejarah dan di mana-mana dapat kita saksikan aksi-aksi sosial yang menuntut ditegakkan-nya keadilan. Akan tetapi, apakah sebenarnya keadilan itu dan apa yang menjadi dasar rasional terdalam untuk keadilan? Pertanyaan-pertanyaan ini digarap dan didalami dalam filsafat moral. Pada Plato dan Aristoteles sudah terdapat teori yang bermutu tentang keadilan. Dan kemudian pemikiran filosofis tentang topik tersebut dilanjutkan sampai pada saat ini. John Rawls, Robert Nozick, dan Michael Walzer termasuk dalam filsuf besar yang menciptakan sebuah teori keadilan yang berbobot dalam abad ke-20.
Etika adalah cabang filsafat yang mempelajari baik buruknya perilaku manusia. Karena itu etika dalam arti ini sering disebut juga "filsafat praksis". Cabang-cabang filsafat lain membicarakan masalah yang tampaknya lebih jauh dari kehidupan konkret. Namun demikian, pada kenyataannya etika filosofis pun tidak jarang dijalankan pada taraf sangat abstrak, tanpa hubungan lang-sung dengan realitas sehari-hari. Sampai-sampai filsuf Austria-Inggris, Ludwig Wittgenstein, pernah mengungkapkan keheranannya, karena ada buku etika yang tidak menyebut satu pun problem moral yang sesungguhnya.141 Mungkin sekarang juga masih ada buku etika semacam itu. Tetapi secara keseluruhan iklim pemikiran moral sekarang lebih terarah kepada masalah-masalah konkret. Sejak akhir tahun 1960-an teori etika mulai membuka diri bagi topik-topik konkret dan aktual sebagai obyek penyelidikannya. Perkembangan baru ini sering disebut "etika terapan" (applied ethics). Mula-mula topik-topik konkret itu menyangkut ilmu-ilmu biomedis, karena di situ kemajuan ilmiah menimbulkan banyak masalah etis yang baru. Tidak lama kemudian etika terapan memperluas perhatiannya ke topik-topik aktual lainnya, seperti lingkungan hidup, persenjataan nuklir, penggunaan tenaga nuklir dalam Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), dan lain-lain. Etika bisnis juga sebaiknya kita lihat sebagai suatu bidang peminatan dari etika terapan.
Seperti etika terapan pada umumnya, etika bisnis pun dapat dijalankan pada tiga taraf: taraf makro, meso, dan mikro. Tiga taraf ini berkaitan dengan tiga kemungkinan yang berbeda untuk menjalankan kegiatan ekonomi dan bisnis. Pada taraf makro, etika bisnis mempelajari aspek-aspek moral dari sistem ekonomi sebagai keseluruhan. Jadi, di sini masalah-masalah etika disoroti pada skala besar. Misalnya masalah keadilan: bagaimana sebaiknya kekayaan di bumi ini dibagi dengan adil? Beberapa contoh lain adalah: aspek-aspek etis dari kapitalisme; masalah keadilan sosial dalam suatu masyarakat, terutama berkaitan dengan kaum buruh; masalah utang negara-negara Selatan terhadap negara-negara Utara, dan sebagainya.
Pada taraf mikro, yang difokuskan ialah individu dalam hubungan dengan ekonomi atau bisnis. Di sini dipelajari tanggung jawab etis dari karyawan dan majikan, bawahan dan manajer, produsen dan konsumen, pemasok dan investor.
Georges Enderle memperlihatkan bahwa etika bisnis di semua negara tidak memberi perhatian yang sama kepada taraf-taraf tadi. Etika bisnis di Daratan Eropa (Inggris dan Irlandia tidak termasuk) terutama menaruh perhatian untuk masalah taraf makro dan baru kemudian masalah taraf mikro. Di Jepang perhatian etika bisnis terutama terfokuskan pada masalah taraf meso. Sedangkan di Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada) etika bisnis terutama menyibukkan diri dengan masalah etis pada taraf mikro dan baru kemudian dengan masalah taraf meso. Tentu saja, hal itu tidak berlaku untuk setiap pengarang atau setiap buku tentang etika bisnis di Eropa, Jepang, atau Amerika Serikat. Di semua negara di mana etika bisnis dipraktekkan semua topik bisa ditemukan. Tetapi tendensinya memang terarah pada fokus-fokus yang spesifik itu.
Akhirnya boleh ditambahkan catatan tentang nama "etika bisnis". Di Indonesia studi tentang masalah etis dalam bidang ekonomi dan bisnis sudah biasa ditunjukkan dengan nama itu, sejalan dengan kebiasaan umum dalam kawasan berbahasa Inggris (business ethics). Tetapi dalam bahasa lain terdapat banyak variasi. Dalam bahasa Belanda pada umumnya dipakai nama be-drijfsethiek (etika perusahaan) dan dalam bahasa Jerman Unternehmensethik (etika usaha). Cukup dekat dengan itu dalam bahasa Inggris kadang-kadang dipakai corporate ethics (etika korporasi). Variasi lain adalah "etika ekonomis" atau "etika ekonomi" (jarang dalam bahasa Inggris economic ethics; lebih banyak dalam bahasa Jerman Wirtschaftsethik). Ditemukan juga nama management ethics atau managerial ethics (etika manajemen). Kemungkinan lain lagi adalah organization ethics (etika organisasi). Sebagian nama yang berbeda-beda ini berkaitan dengan preferensi untuk perspektif makro, meso, atau mikro yang berbeda di pelbagai negara. Namun demikian, pada dasarnya semua nama ini menunjuk kepada studi tentang aspek-aspek moral dari kegiatan ekonomi dan bisnis, sebagaimana diupayakan dalam blog ini.