Etika Bisnis Di Tinjau Dari Sudut Pandang Hukum

Sudut Pandang Hukum


Tidak bisa diragukan, bisnis terikat juga oleh hukum. "Hukum dagang" atau "hukum bisnis" merupakan cabang penting dari ilmu hukum modern. Dan dalam praktek hukum banyak masalah timbul dalam hubungan dengan bisnis, pada taraf nasional maupun internasional.

Seperti etika pula, hukum merupakan sudut pandang normatif, karena menetapkan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Dari segi norma, hukum bahkan lebih jelas dan pasti daripada etika, karena peraturan hukum dituliskan hitam atas putih dan ada sanksi tertentu, bila terjadi pelanggaran.

Terdapat kaitan erat antara hukum dan etika. Dalam kekaisaran Roma sudah dikenal pepatah: Quid leges sine moribus?, "apa artinya undang-undang, kalau tidak disertai moralitas?" Etika selalu harus menjiwai hukum. Baik dalam proses terbentuknya undang-undang maupun dalam pelaksanaan peraturan hukum, etika atau moralitas memegang peranan penting. Di sini bukan tempatnya untuk membahas hubungan antara hukum dan moralitas itu dengan lengkap. Sudah cukup bila digarisbawahi bahwa dalam bidang bisnis, seperti dalam banyak bidang lain pula, hukum dan etika kerap kali tidak bisa dilepaskan satu sama lain.


Memang benar, ada hal-hal yang diatur oleh hukum yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan etika. Sama saja, jika lalu lintas berjalan di sebelah kiri atau kanan dari badan jalan. Di sini peraturan hukum harus ditentukan supaya keadaan tidak menjadi kacau, tetapi cara diaturnya tidak berkaitan dengan etika. Dari segi moral, cara yang satu tidak lebih baik dari yang lain. Tetapi tentang banyak hal lain, hukum meneguhkan keyakinan moral dalam masyarakat. Pembunuhan, perampokan, penipuan, dan sebagai-nya adalah tidak etis dan serentak juga dilarang menurut hukum. Di sini per¬aturan hukum merupakan pengendapan atau kristalisasi dari keyakinan moral dan serentak juga mengukuhkan keyakinan moral itu.
Walaupun terdapat hubungan erat antara norma hukum dan norma etika, namun dua macam norma itu tidak sama. Di samping sudut pandang hukum, kita tetap membutuhkan sudut pandang moral. Untuk itu dapat dikemukakan beberapa alasan. Pertama, banyak hal bersifat tidak etis, sedangkan menurut hukum tidak dilarang. Tidak semuanya yang bersifat imoral adalah ilegal juga. Menipu teman waktu main kartu atau menyontek waktu mengerjakan ujian sekolah merupakan perbuatan tidak etis, tetapi dengan itu orang tidak melanggar hukum. 

Kelompok pemain kartu sendiri harus mengatur apa yang boleh atau tidak boleh dan sekolah itu sendiri harus membuat peraturan yang memungkinkan mereka menangani masalah ketidakjujuran peserta ujian secara intern. Hukum tidak perlu dan bahkan tidak bisa mengatur segala sesuatu demikian rupa sehingga tidak akan terjadi perilaku yang kurang etis. Malah ada perilaku yang dari segi moral sangat penting, tetapi tidak diatur menurut hukum. Misalnya, di kebanyakan negara modern, perselingkuhan dalam perkawinan tidak dilarang berdasarkan hukum dan orang yang berzinah tidak bisa diadili. Tetapi tentang kualitas etis perilaku itu tidak ada keraguan. Dalam bidang bisnis pula, hukum tidak akan berusaha mengatur segala hal sampai detail-detail terkecil. Berbohong waktu melamar kerja atau pencurian kecil-kecilan di tempat kerja adalah perbuatan yang tidak etis, tetapi tidak ditangani oleh hukum. Biasanya hukum dan instansi kehakiman baru campur tangan, bila kepentingan atau hak orang serta instansi harus dilindungi.

Dalam kasus 1 (Perusahaan kimia) harus kita membedakan aspek moral dari aspek hukum. Memang dikatakan, pendahulu Jones "tidak teliti dalam menerapkan aturan-aturan keamanan". Tidak begitu jelas apakah dengan itu dimaksudkan aturan hukum atau aturan intern perusahaan. Kalaupun dimaksudkan peraturan hukum yang resmi, perilakunya tidak menjadi jelek hanya karena melanggar peraturan hukum. Terlepas dari konteks hukum, manajer tidak boleh mengambil keputusan yang membahayakan karyawan atau lingkungan hidup. Melakukan hal seperti itu harus dianggap tidak etis. Tetapi sebaiknya hal ini diatur menurut hukum juga. Kepentingan umum minta agar dalam industri penuh risiko seperti industri kimia menjadi jelas standar yang berlaku dan pelaksanaannya dikontrol dengan ketat Dalam kasus 3 (Pabrik asbes) perusahaan "Kansas Asbestos Company" tidak melanggar hukum dengan memindahkan semua pabriknya ke Afrika Barat, sebab hukum Amerika tidak berlaku di situ. 
Tetapi dari segi moral, kualitas etis keputusan mereka sangat diragukan, jika mereka membiarkan terjadinya risiko bagi kesehatan pekerja Afrika, yang menurut hukum dilarang di Amerika. Dalam kasus 4 (Kerahasiaan bank) rahasia bank yang ketat di negara-negara kecil justru diatur menurut hukum, tetapi masalahnya ialah apakah peraturan hukum itu, sendiri etis, karena bisa memberi perlindungan kepada dana yang berasal dari kegiatan kriminal. Dengan demikian negara-negara lain terhambat dalam usaha me-merangi kriminalitas. Sejauh kerja sama internasional menjadi semakin erat, mau tidak mau efek-efek negatif dari undang-undang khusus itu harus di-hilangkan. Misalnya, Luxemburg sebagai anggota Uni Eropa terpaksa harus menyesuaikan diri dengan anggota U.E. lainnya.

Alasan kedua untuk perlunya sudut pandang moral di samping sudut pandang hukum adalah bahwa proses terbentuknya undang-undang atau peraturan-peraturan hukum lainnya memakan waktu lama, sehingga masalah-masalah baru tidak segera bisa diatur secara hukum. Salah satu contoh jelas adalah hukum lingkungan hidup. Sebelum diberlakukan undang-undang lingkungan hidup, industri sudah sering mengakibatkan polusi udara, air, atau tanah, yang sangat merugikan masyarakat. Bila pabrik kertas umpamanya membuang limbah industri dengan seenaknya ke dalam sungai, sehingga mengakibatkan kerugian bagi pertanian setempat yang menggunakan air sungai untuk keperluan irigasi sawah dan bagi masyarakat di sekitarnya yang menggunakannya untuk keperluan rumah tangga, maka perilaku itu tidak bersifat etis, walaupun belum dilarang menurut hukum. Tetapi hal seperti itu telah berlangsung di hampir semua negara, karena ketentuan hukum mengenai lingkungan hidup baru mulai dikembangkan sekitar tahun 1970-an. Hal yang sama berlaku bagi banyak teknologi baru yang ada implikasi etis: diaturnya secara hukum membutuhkan waktu lama, sementara itu hukum belum sejalan dengan tuntutan etika. Secara khusus di negara-negara berkembang yang mulai mengembangkan industrinya, dalam banyak hal peraturan hukum masih ter-belakang sekali, dibandingkan dengan negara industri maju. Kasus 3 (Pabrik asbes) dalam konteks ini pun dapat disebut sebagai contoh.

Ketertinggalan hukum, dibandingkan dengan etika, malah tidak terbatas pada masalah-masalah baru (misalnya, disebabkan perkembangan teknologi), masalah-masalah yang jelas-jelas tidak etis bisa juga belum diatur secara hukum. Masalah diskriminasi di Amerika Serikat baru diatur secara hukum dalam Civil Rights Act (1964). Sebelumnya diskriminasi di tempat kerja (atau di bidang lain) tentu tidak etis, tetapi dari segi hukum belum diatur. Dalam konteks negara-negara Asia Selatan suatu contoh terkenal adalah masalah hak milik intelektual. Amerika Serikat dan negara-negara industri lain menuduh negara-negara seperti Cina karena mereka melanggar hak milik intelektual dengan membajak buku, kaset rekaman, CD (Compact Disk), perangkat lunak, merek dagang, dan sebagainya. Misalnya, barang dengan merek bergengsi dan mahal (seperti Lanvin, Pierre Cardin, atau Saint Yves Laurent dari Paris) ditiru dan dijual dengan harga murah. Negara-negara industri menuntut agar negara-negara Asia ini membuat undang-undang yang melindungi hak milik intelektual dan melaksanakannya dengan ketat. Apalagi, sebagai konsekuensi dari Persetujuan Umum tentang Tarif dan Perdagangan (GATT) dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) negara-negara itu harus membuat undang-undang tentang hak milik intelektual atau memperbaiki undang-undang yang sudah ada (UU Hak Cipta, UU Paten, UU Merek, dan sebagainya). Pada tahun 1985 di Indonesia terjadi sebuah kasus yang menggemparkan dengan berita dalam media massa internasional tentang dibajaknya kaset rekaman yang memuat lagu-lagu artis kondang dan dibuat untuk tujuan amal (Kasus 5: "Live Aid").
Waktu itu perbuatan tersebut menurut hukum yang berlaku di Indonesia masih dimungkinkan, tetapi dari segi etika tentu tidak bisa dibenarkan. Karena dua alasan: pertama, dengan pembajakan kaset ini dilanggar hak milik orang lain; kedua, pembajakan menjadi lebih jelek lagi karena kaset itu berkaitan dengan maksud amal. Dapat dimengerti, bila reaksi di luar negeri terhadap pembajak Indonesia itu sangat tajam dan emosional.

Suatu kasus lain yang pantas dipelajari dalam konteks ini menyangkut pembajakan merek sepatu olah raga Nike (Kasus 6: Merek dagang Nike). Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tanggal 16 Desember 1986 dengan sebuah Peninjauan Kembali mengalahkan perusahaan Indonesia dan memenangkan perusahaan Amerika Nike Internasional Ltd. Alasan hukum yang eksplisit, diambil dari hukum yang berlaku pada waktu itu. Tetapi rupanya secara implisit alasan lebih penting adalah berpegang pada keyakinan etika perdagangan internasional pada waktu itu, dengan mempertimbangkan efek negatif dalam perdagangan internasional bagi Indonesia sendiri, bila masalah ini tidak diselesaikan dengan memuaskan. Sekitar tahun 1980-an peraturan hukum tentang merek dagang masih lemah. Sebagian karena desakan internasional, Indonesia (sebagaimana negara-negara Asia Selatan lainnya) membuat UU Merek no. 19 tahun 1992 baru yang diberlakukan sejak 1 April 1993 dan mengatur masalah merek dagang ini dengan lebih memuaskan.

Alasan ketiga ialah bahwa hukum itu sendiri sering kali bisa disalahgunakan. Perumusan hukum tidak pernah sempurna, sehingga orang yang beritikad buruk bisa memanfaatkan celah-celah dalam hukum (the loopholes of the law). Peraturan hukum yang dirumuskan dengan cara teliti sekalipun, barangkali masih memungkinkan praktek-praktek kurang etis yang tidak bertentangan dengan huruf hukum. Suatu contoh cukup jelas adalah kasus 7 (Mengincar pesangon). Ir. A.M. Situmorang mendapat pesangon bila ia diberhentikan, sedangkan tidak dapat bila ia sendiri minta berhenti. Karena itu setelah mengambil keputusan untuk pindah kerja, dengan kelakuan yang sengaja indisipliner ia berusaha memaksakan pemberhentiannya. Cara seperti itu dengan jelas tidak etis, karena merugikan perusahaannya yang pertama dan melanggar kewajiban loyalitas terhadap perusahaan itu. Tetapi secara hukum tipu muslihatnya di mungkinkan dan bisa berhasil.

Alasan keempat cukup dekat dengan itu. Bisa terjadi, hukum memang dirumuskan dengan baik, tetapi karena salah satu alasan sulit untuk dilaksanakan, misalnya, karena sulit dijalankan kontrol yang efektif. Tidak bisa diharapkan, peraturan hukum yang tidak ditegakkan akan ditaati juga. Hal itu bisa terjadi di bidang lingkungan hidup.

Alasan kelima untuk perlunya sudut pandang moral di samping sudut pandang hukum adalah bahwa hukum kerap kali mempergunakan pengertian yang dalam konteks hukum itu sendiri tidak didefinisikan dengan jelas dan sebenarnya diambil dari konteks moral. Salah satu contoh adalah pengertian "bonafide". Bukannya hukum, melainkan praktek dan refleksi morallah yang menentukan isi pengertian ini. Bisa terjadi juga, pengadilan memutuskan suatu perkara atas dasar pertimbangan moral, karena menurut segi hukum masalah-nya tidak dapat diselesaikan, akibat tiadanya peraturan hukum atau peraturan yang berlaku tidak jelas. Di sini putusan MA dalam kasus 6 (Merek dagang Nike) barangkali bisa dikemukakan sebagai contoh, walaupun hal itu tidak tampak secara eksplisit. Bahkan ada kasus di mana pertimbangan hukum di-kalahkan oleh pertimbangan moral. Sebuah contoh menarik adalah putusan pengadilan New York pada tahun 1889 tentang orang muda yang membunuh kakeknya. Walaupun cucu itu disebut sebagai ahli waris dalam surat wasiat kakeknya, pengadilan membatalkan haknya dengan pertimbangan yang bersifat moral bahwa orang tidak pantas mendapat keuntungan dari kejahatannya.
Untuk bisnis, sudut pandang hukum tentu penting. Bisnis harus menaati hukum dan peraturan yang berlaku. "Bisnis yang baik" antara lain berarti juga bisnis yang patuh pada hukum. Tetapi sudut pandang hukum itu tidak cukup.

Perlu diakui lagi adanya sudut pandang lain, yaitu sudut pandang moral. Tidak semua hal yang pantas dilakukan atau tidak pantas dilakukan perlu diatur atau malah bisa diatur menurut hukum. Di samping hukum, kita membutuhkan etika juga. Kita membutuhkan norma moral yang menetapkan apa yang etis atau tidak etis untuk dilakukan. Bahkan harus digarisbawahi, pada taraf normatif etika mendahului hukum. Misalnya, kewajiban itu sendiri untuk mematuhi hukum berasal dari sudut pandang moral.

Kadang-kadang didengar pendapat bahwa bisnis sudah berlaku etis, bila mematuhi peraturan hukum. Bisnis berlaku etis mereka tegaskan jika dan selama tidak melanggar hukum. Jika perilaku bisnis itu legal, maka dari sudut moral juga semuanya beres ("If it's legal, it's morally okay"). Karena alasan-alasan yang dijelaskan sebelumnya, pendapat itu tidak betul atau lebih tepat tidak lengkap. Tentu saja, sangat diharapkan bisnis akan mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku. Kepatuhan pada hukum merupakan suatu minimum, tetapi minimum itu belum cukup. Sikap bisnis belum terjamin bersifat etis, bila orang membatasi diri pada hukum saja. Sebagaimana ditandaskan Boatright, daripada menggunakan motto "it's legal, it's morally okay", lebih baik kita berpegang pada prinsip "If it's morally wrong, it's probably also illegal".^ Jika secara moral suatu perilaku ternyata salah, kemungkinan besar (walaupun tidak pasti) perilaku itu melanggar hukum juga.

 Daftar Isi Etika Bisnis

  1. Bisnis dan Etika dalam Dunia Modern, Tiga aspek pokok dari bisnis
  2. Bisnis Dilihat Dari Sudut Pandang Ekonomis
  3. Etika Bisnis Ditinjau Dari Sudut Pandang Moral
  4. Etika Bisnis Di Tinjau Dari Sudut Pandang Hukum
  5. Tolok ukur untuk tiga sudut pandang Ekonomis, Moral dan Hukum
  6. Apa itu etika bisnis? Pengertian Etika Bisnis
  7. Definisi Operasional Variabel, Jenis Barang Dagangan dan Kepadatan, Tujuan Suasana Toko
  8. Desain arsitektur, Mengalokasikan Modal Bisnis, Menentukan Harga Layanan, Tarif dan Harga Sebuah Kreativitas
  9. Perkembangan etika bisnis, Situasi dahulu, Masa Peralihan: tahun 1960-an
  10. Manajemen Bisnis ! Apa sih maksudnya ?

Postingan populer dari blog ini

Tolok ukur untuk tiga sudut pandang Ekonomis, Moral dan Hukum

Perkembangan etika bisnis, Situasi dahulu, Masa Peralihan: tahun 1960-an

Bisnis dan Etika dalam Dunia Modern, Tiga aspek pokok dari bisnis