Bisnis dan Etika dalam Dunia Modern, Tiga aspek pokok dari bisnis
Tiga aspek pokok dari bisnis
Bisnis modern merupakan sebuah realitas yang sangat kompleks. Dalam menentukan kegiatan bisnis banyak faktor yang mempengaruhinya, diantaranya organisatoris-manajerial, ilmiah-teknologis, dan politik-sosial-kultural.
Dari kekompleksitasan bisnis itu berkaitan langsung dengan kompleksitas masyarakat modern sekarang. Dengan kompleksitasnya masyarakat modern, maka akan banyak cara untuk menjalin kegiatan sosial dan bisnis. Pembahasan dan penganalisisan faktor pembentuk kompleksitas bisnis modern banyak sekali dibahas di berbagai forum ilmiah, khususnya ilmu ekonomi dan teori manajemen. Dan untuk bahasan ini kita menyoroti suatu aspek bisnis yang sampai sekarang jarang disentuh dalam pembahasan lain, Namun semakin banyak yang mengakui pentingnya, yaitu aspek etis atau moralnya.Untuk menjelaskan kekhususan aspek etis ini, dalam suatu pendekatan pertama kita perlu bandingkan dulu dengan aspek-aspek lain, yang tidak kalah pentingnya dari aspek ekonomi dan hukum. Oleh karena itu, bisnis sebagai kegiatan sosial bisa disoroti setidaknya melihat dari tiga sudut pandang yang berbeda namun tidak selalu mungkin dipisahkan ini: Sudut pandang ekonomi, hukum, dan etika. Tidak ada salahnya bila kita mulai dengan mempelajari beberapa kasus atau situasi bisnis konkret yang pernah terjadi, supaya dari situ bisa kelihatan tiga sudut pandang berbeda yang perlu difokuskan.
Kasus 1: Industri kimia
Marc Jones, usia 42 tahun, sudah selama 15 tahun bekerja untuk Krimsons Corporation, sebuah perusahaan yang memproduksi bahan kimia yang berbahaya. Karena dedikasinya kepada perusahaan selama itu selalu besar, Jones dipromosikan menjadi manajer sebuah unit produksi yang penting.
Setelah tiga minggu bertugas, ia dipanggil oleh manajer kepala, Kevin Lombard, karena yang terakhir ini merasa kurang puas dengan prestasi Jones. Ia mengeluh, karena sejak Jones mengambil alih tugas dari pendahulunya irama produksi di unitnya menurun dengan cukup mencolok. Lombard menegaskan bahwa keadaan itu tidak bisa diterima. Jones diberi pesan: "Tingkatkanlah laju produksi, minimal sampai taraf sebelumnya".
Jones tentu kaget karena teguran yang tidak disangka-sangka itu. Ia menyelidiki masalahnya dan menemukan bahwa pendahulunya hanya dapat mencapai laju produksi setinggi itu, karena ia tidak teliti dalam menerapkan aturan-aturan keamanan. Jones menyadari bahwa dengan cara kerja itu pendahulunya mengambil risiko besar, baik untuk karyawan perusahaan maupun untuk lingkungan hidup di sekitar pabrik. Namun pendahulunya itu mujur. Selama ia bertugas tidak terjadi kecelakaan yang berarti. Beberapa peristiwa kecil dapat diatasinya sendiri, sehingga bisa disembunyikan untuk dunia luar.
Jones melaporkan hal itu kepada bosnya. Ia yakin, dengan demikian bertindak demi kepentingan perusahaan. Betapa besar keheranan Jones, ketika mendengar jawaban Lombard: "Saya tidak bisa memperhatikan detail-detail" dan "Bagaimanapun juga, Saudara harus sanggup mempertahankan tingkat produksi sebelumnya". Lagi pula, Lombard mulai meragukan apakah Jones itu orang yang tepat untuk job baru tersebut. "Bukankah Saudara terlalu melebih-lebihkan? Saudara bersikap pengecut dengan membayang-bayangkan khayalan yang kurang realisris. Dulu tidak pernah ada masalah!"
(Sumber: J. Verstraeten/J. Van Gerwen, Business en Ethiek, Tielt (Belgium), Lannoo, 1990, him. 15.)
Kasus 2: Pemasok komputer
PT W.V.K. merupakan perusahaan besar yang ingin mengganti sistem komputemya, karena memburuhkan komputer ripe baru yang lebih canggih. Untuk itu mereka menghubungi perusahaan PT C.T.A. yang dapat memasok komputer yang dicari. Seluruh proses penggantian komputer direncanakan akan selesai dalam satu tahun. Faktor waktu itu bagi mereka penting. Kalau proses penggantian berlangsung lebih lama, PT W.V.K. akan mengalami kerugian cukup besar. Kepala bagian penjualan dari PT C.T.A. meragukan entah perusahaannya mampu memenuhi permohonan ini tepat waktu, karena komputer baru yang dicari itu tergolong populer, sehingga produsen belum tenru dapat memenuhi permintaan pada waktunya. Tahap pertama dari pesanan (sesudah tiga bulan) pasti dapat ia penuhi, tetapi tentang lanjutannya ia ragu-ragu. Di sisi lain ia mengkhawatirkan order yang mencakup ratusan juta rupiah ini akan diberikan kepada perusahaan lain, bila ia menyatakan keraguannya untuk memenuhi permintaan tepat waktu. Ia memilih untuk diam saja.
(Sumber: J. R. Boatright, Ethics and the Conduct of Business, him. 1)
Kasus 3: Perusahaan asbes
Perusahaan Amerika "Kansas Asbestos Company" bergerak di bidang produk asbes. Ketika pada tahun 1970-an semakin banyak peraturan mempersulit produksi dan mengakibatkan biaya produksi naik, direksi perusahaan memutuskan untuk memindahkan semua pabriknya ke suatu negara Afrika Barat. Jika dihirup dalam kuantitas cukup besar, serat asbes diketahui mengakibatkan penyakit asbestosis (dalam jangka pendek) dan juga kanker paru (dalam jangka panjang). Di Afrika tidak ada peraturan yang melindungi pekerja terhadap occupational diseases ini. Tambahan pula, dibanding dengan Amerika Serikat, tenaga kerja di Afrika jauh lebih murah.
Kasus 4: Kerahasiaan bank
"Rahasia bank" merupakan suatu prinsip etis yang umum dan hampir semua negara mempunyai peraturan hukum yang mengatur kerahasiaan itu. Relasi antara nasabah dan bank merupakan suatu relasi kepercayaan. Bank tentu tidak berlaku etis, bila memberitahukan kepada pihak lain tentang kekayaan yang oleh orang tertentu dititipkan kepadanya. Tetapi kewajiban bank menjaga kerahasiaan tentu mengenal batas. Sebab, ada kepentingan lain lagi yang harus diperhatikan kecuali kepentingan nasabah saja. Karena itu banyak negara mempunyai peraturan hukum yang memungkinkan dinas pajak, misalnya, untuk mengontrol apakah nasabah bank membayar pajak dari depositonya.
Peraturan hukum tentang kerahasiaan bank di semua negara tidak sama. Ada negara yang lebih lunak dan ada negara yang lebih ketat dalam melindungi kerahasiaan bank. Beberapa negara kecil seperti Swiss dan Luxemburg cenderung lebih ketat dalam melindungi rahasia nasabah di bank. Alasannya dapat dipahami. Sebagai negara kecil mereka tidak bisa menarik banyak dana dari dalam negeri. Melindungi rahasia bank merupakan salah satu upaya untuk menarik nasabah dari luar negeri. Tetapi cara ini ada bahaya bahwa rahasia bank disalahgunakan. Dana yang diperoleh dengan cara kurang etis (para baron obat biiis, para penjabat koruptor dari luar negeri) dengan demikian "aman" terhadap pelacakan dari luar. Instansi nasional yang memerangi kriminalitas tidak bisa masuk di situ, apalagi instansi luar negeri. Sehingga pada kenyataannya sistem itu bisa menguntungkan para kriminal.
Kasus 5: Live Aid
Nama penyanyi Irlandia-Inggris, Bob Geldof, melejit ke popularitas global, ketika ia berhasil menyelenggarakan konser amal raksasa, serentak di stadion Wembley di London, Inggris, dan di stadion John F. Kennedy di Philadelphia, Amerika Serikat, pada 13 Juli 1985. Konser amal yang diberi nama Live Aid ini bertujuan mengumpulkan dana untuk disalurkan sebagai bantuan bagi korban kelaparan di Etiopia, Afrika. Banyak penyanyi kondang ikut serta dan konser ini disiarkan melalui televisi ke seluruh pelosok dunia. Tak Beberapa lama kemudian sebuah kaset rekaman bernama Live Aid beredar, yang berisi lagu-lagu yang dibawakan pada konser tersebut. Kaset bajakan ini dibuat dari berbagai album yang sudan ada dan dijual di beberapa negara Timur Tengah dan tempat lain. Ada yang mencantumkan made in Indonesia, ada yang memakai pita cukai Indonesia, bahkan ada yang mencantumkan catatan bahwa hasil keuntungan penjualan akan disumbangkan ke Etiopia. Diperkirakan kaset ini dibajak oleh sekitar sepuluh perusahaan rekaman Indonesia. Bob Geldof dan artis-artis lain tentu marah besar. Ia melontarkan kampanye protes dalam media massa sedunia yang menuduh Indonesia tentang perilaku tidak etis. Secara hukum, Indonesia tidak bisa ditindak karena pada saat itu belum menandatangani Konvensi Bern tentang hak cipta internasional dan di dalam negeri belum memiliki undang-undang yang melarang pembajakan macam itu.
(Sumber: Tempo, 14 dan 21 Desember 1985)
Kasus 6: Merek dagang Nike
Nike adalah merek dagang untuk sepatu, pakaian, dan alat-alat olah raga yang diproduksi oleh Nike International Ltd. yang berkedudukan di Beaverton, Oregon, Amerika Serikat. Pada tanggal 16 Desember 1986 Mahkamah Agung R.I. mengeluarkan Peninjauan Kembali terhadap putusan MA tahun sebelumnya, tanggal 24 Juli 1985. Dengan itu Nike International Ltd. dinyatakan mempunyai hak tunggal untuk memakai merek dagang dan nama perniagaan Nike di Indonesia. Sekaligus tuan Lucas Sasmito diperintahkan mencoret merek Nike dari Daftar Umum Direktorat Paten dan Hak Cipta dengan nomor 141.589, yang sudah terdaftar di situ sejak tahun 1980. Sebelumnya MA selalu memenangkan pengusaha Indonesia dalam sengketa merek dengan pihak asing. Demikian juga pada 24 Juli 1985 PT Panarub, milik Lucas Sasmito, masih dimenangkan terhadap Nike International Ltd. Dengan Peninjauan Kembali tersebut MA mengubah sikapnya. Konon, PT Panarub mulai memproduksi sepatu olah raga Nike sejak tahun 1976, ketika merek Amerika belum dikenal di Indonesia. Pada tahun 1980 ia menjadi pemilik merek dagang itu di Indonesia. Sepatu Nike lokal dijual dengan kira-kira separo harga sepatu Nike Amerika. Karena merasa disaingi secara curang, Nike International Ltd. pada tahun 1983 menggugat PT Panarub di pengadilan. Pada tingkat pertama pihaknya dimenangkan. Tetapi ketika perkara berlanjut ke tingkat kasasi, pada tahun 1985, pihak Nike Inter¬national Ltd. justru dikalahkan.
Sebab, ketika gugatan itu diajukan ke pengadilan pada tahun 1983, PT Panarub telah resmi menjadi pemegang merek itu, sejak haknya diumumkan dalam Tambahan Berita Negara 1980. Sementara itu dalam Undang-Undang Merek disebutkan bahwa segala keberatan terhadap merek bisa diajukan dalam waktu 9 bulan setelah diumumkan. Alasan itulah pada tahun 1986 diralat oleh MA. Sebab, Tambahan Lembaran Negara 1980 itu agar diketahui umum menurut majelis baru diterbitkan pada tahun 1985. Keterlambatan penerbitan itu, menurut majelis, tidak boleh menyebabkan pihak yang beritikad baik dirugikan. Sebaliknya, pihak PT Panarub dianggap hakim telah beritikad buruk. Sebab, ternyata pada tahun 1982 PT Panarub pernah mengajak Nike International Ltd. bekerja sama. Ketika itu mereka sudah tahu siapa pemilik merek yang asli.
(Sumber: Tempo, 21 Februari 1987)
Kasus 7: Mengincar pesangon
Ir. Abraham Maruli Situmorang, 39 tahun usianya, sudah 12 tahun lamanya bekerja sebagai kepala bagian teknis di sebuah pabrik sepatu di Jawa Barat Saudaranya merencanakan membuka pabrik sejenis di Medan dan mengajak Pak Abraham pindah kerja. Ia ditawari menjadi direktur bagian teknis di pabrik baru itu. Pabrik akan beroperasi sesudah satu setengah tahun lagi. Kalau sempat, ia bisa ikut juga dalam persiapan pabrik baru. Sesudah menerima tawaran ini, Pak Abraham dengan sengaja mengurangi disiplin kerja sampai suatu tingkatan yang cukup mengkhawatirkan pimpinannya. Ia sering datang terlambat dan pulang sebelum waktunya. Kadang-kadang ia sama sekali tidak masuk kerja tanpa memberitahukan lebih dahulu. Ia juga tidak menyelesaikan tugas-tugasnya pada saat yang diharapkan. Dengan kelakuan indisipliner ini Ir. Abraham berharap akan dipecat, supaya ia dapat menerima pesangon cukup besar. Kecuali keluarganya, tidak ada yang tahu tentang rencananya untuk pindah kerja.