Perkembangan etika bisnis, Situasi dahulu, Masa Peralihan: tahun 1960-an


Sepanjang sejarah, kegiatan perdagangan atau bisnis tidak pernah luput dari sorotan etika. Perhatian etika untuk bisnis seumur dengan bisnis itu sendiri. Sejak manusia terjun dalam perniagaan, disadari juga bahwa kegiatan ini tidak terlepas dari masalah etis. Misalnya, sejak manusia berdagang ia tahu tentang kemungkinan penipuan.

Dalam teks-teks kuno sudah dapat dibaca teguran kepada pemilik toko yang menipu dengan mempermainkan timbangan. Pedagang yang menipu langganan dengan menjual barangnya menurut pengukuran berat yang tidak benar, berlaku tidak etis."'1 Aktivitas perniagaan selalu sudah berurusan dengan etika, artinya selalu harus mempertimbangkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Memang benar, sejak ditemukannya bisnis, etika sudah mendampingi kegiatan manusiawi ini.
Namun demikian, jika kita menyimak etika bisnis sebagaimana dipahami dan dipraktekkan sekarang, tidak bisa disangkal juga, di sini kita menghadapi suatu fenomena baru. Belum pernah dalam sejarah, etika bisnis mendapat perhatian begitu besar dan intensif seperti sekarang ini. Etika bisnis mencapai status ilmiah dan akademis dengan identitas sendiri. Bagaimana perkembangan ini dapat dimengerti? Richard De George'71 mengusulkan untuk membedakan antara ethics in business dan business ethics, antara etika-dalam-bisnis dan etika bisnis. Maksudnya dapat dijelaskan sebagai berikut. Etika selalu sudah dikaitkan dengan bisnis. Sejak ada bisnis, sejak saat itu pula bisnis dihubungkan dengan etika, sebagaimana etika selalu dikaitkan juga dengan wilayah-wilayah lain dalam kehidupan manusia seperti politik, keluarga, seksualitas, berbagai profesi, dan sebagainya.

Jadi, etika-dalam-bisnis atau etika-berhubungan-dengan-bisnis berbicara tentang bisnis sebagai salah satu topik di samping sekian banyak topik lainnya. Etika-dalam-bisnis belum merupakan suatu bidang khusus yang memiliki corak dan identitas tersendiri. Hal itu baru tercapai dengan timbulnya "etika bisnis" dalam arti yang sesungguhnya. Etika-dalam-bisnis mempunyai riwayat yang sudah panjang sekali, sedangkan umur etika bisnis masih muda sekali. Kita baru bisa berbicara tentang etika bisnis dalam arti spesifik setelah menjadi suatu bidang (field) tersendiri, maksudnya suatu bidang intelektual dan akademis dalam konteks pengajaran dan peneliti-an di perguruan tinggi. Etika bisnis dalam arti khusus ini untuk pertama kali timbul di Amerika Serikat dalam tahun 1970-an dan agak cepat meluas ke kawasan dunia lainnya. Dengan memanfaatkan dan memperluas pemikiran De George ini kita dapat membedakan lima periode dalam perkembangan etika-dalam-bisnis menjadi etika bisnis ini.
Perkembangan etika bisnis, Situasi dahulu, Masa Peralihan: tahun 1960-an

1.   Situasi dahulu

Berabad-abad lamanya etika berbicara pada taraf ilmiah tentang masalah ekonomi dan bisnis sebagai salah satu topik di samping sekian banyak topik lain. Pada awal sejarah filsafat, Plato, Aristoteles, dan filsuf-filsuf Yunani lain menyelidiki bagaimana sebaiknya mengatur kehidupan manusia bersama dalam negara dan dalam konteks itu mereka membahas juga bagaimana kehidupan ekonomi dan kegiatan niaga harus diatur. Dalam filsafat dan teologi Abad Pertengahan pembahasan ini dilanjutkan, dalam kalangan Kristen mau-pun Islam. Topik-topik moral sekitar ekonomi dan perniagaan tidak luput pula dari perhatian filsafat (dan teologi) di zaman modern.
Dengan membatasi diri pada situasi di Amerika Serikat selama paro pertama abad ke-20, De George melukiskan bagaimana di perguruan tinggi masalah moral di sekitar ekonomi dan bisnis terutama disoroti dalam teologi.

Pada waktu itu di banyak universitas diberikan kuliah agama di mana maha-siswa mempelajari masalah-masalah moral sekitar ekonomi dan bisnis. Pem-bahasannya tentu berbeda, sejauh mata kuliah ini diberikan dalam kalangan Katolik atau Protestan. Dalam kalangan Katolik, pada umumnya mata kuliah ini mendalami "Ajaran Sosial Gereja". Yang dimaksudkan dengannya adalah uraian sistematis dari ajaran para paus dalam ensiklik-ensiklik sosial, mulai dengan ensiklik Rerum Novarum (1891) dari Paus Leo XIII. Di sini disinggung banyak tema yang menyangkut moralitas dalam kehidupan sosial-ekonomi seperti hak pekerja atas kondisi kerja yang baik dan imbalan yang pantas; pen-tingnya nilai-nilai moral bertentangan dengan suasana materialistis dan konsumeristis; keadilan sosial dan upaya memperbaiki taraf hidup orang miskin; tanggung jawab negara-negara kaya terhadap negara-negara miskin, dan sebagainya. Dalam kalangan Protestan, buku teolog Jerman Reinhold Niebuhr Moral Man and Immoral Society (New York, 1932) menjalankan pengaruh besar atas pengajaran etika mengenai tema-tema sosio-ekonomi dan bisnis di per-guruan tinggi mereka.

Dengan demikian di Amerika Serikat selama paro pertama abad ke-20 etika-dalam-bisnis terutama dipraktekkan dalam konteks agama dan teologi. Dan pendekatan ini masih berlangsung terus sampai hari ini, di Amerika Serikat maupun di tempat lain. Para paus mengeluarkan ensiklik-ensiklik sosial baru sampai dengan Sollicitudo Rei Socialis (1987) dan Centesimus Annus (1991) dari Paus Yohanes Paulus II. Suatu contoh bagus khusus untuk Amerika Serikat adalah dokumen pastoral yang dikeluarkan oleh para uskup Amerika Serikat dengan judul Economic justicefor All. Catholic Social Teaching and the U.S. Economy (1986).

2.  Masa peralihan: tahun 1960-an


Dalam tahun 1960-an terjadi perkembangan baru yang bisa dilihat sebagai persiapan langsung bagi timbulnya etika bisnis dalam dekade berikutnya. Dasa-warsa 1960-an ini di Amerika Serikat (dan dunia Barat pada umumnya) ditandai oleh pemberontakan terhadap kuasa dan otoritas, revolusi mahasiswa (mulai di ibukota Prancis bulan Mei 1968), penolakan terhadap establishment (kemapan-an). Suasana tidak tenang ini diperkuat lagi karena frustrasi yang dirasakan secara khusus oleh kaum muda dengan keterlibatan Amerika Serikat dalam perang Vietnam. Rasa tidak puas ini mengakibatkan demonstrasi-demonstrasi paling besar yang pernah disaksikan di Amerika Serikat. Secara khusus kaum muda menolak kolusi yang di mata mereka terjadi antara militer dan industri. Industri dinilai terutama melayani kepentingan militer. Serentak juga untuk pertama kali timbul kesadaran akan masalah ekologis dan terutama industri dianggap sebagai penyebab masalah lingkungan hidup itu dengan polusi udara, air, dan tanah serta limbah beracun dan sampah nuklir. Pada waktu yang sama timbul juga suatu sikap anti-konsumeristis. Suasana konsumerisme semakin dilihat sebagai tendensi yang tidak sehat dalam masyarakat dan di-akibatkan oleh bisnis modem antara lain dengan kampanye periklanan yang sering kali berlebihan. Semua faktor ini mengakibatkan suatu sikap anti-bisnis pada kaum muda, khususnya mahasiswa.

Dunia pendidikan menanggapi situasi ini dengan cara berbeda-beda. Salah satu reaksi paling penting adalah memberi perhatian khusus kepada social issues dalam kuliah tentang manajemen. Beberapa sekolah bisnis mulai dengan mencantumkan mata kuliah baru dalam kurikulumnya yang biasanya diberi nama Business and Society. Kuliah ini diberikan oleh dosen-dosen manajemen dan mereka menyusun buku-buku pegangan dan publikasi lain untuk menunjang mata kuliah baru itu. Salah satu topik yang menjadi populer dalam konteks itu adalah corporate social responsibility (tanggung jawab sosial perusahaan). Pendekatan ini diadakan dari segi manajemen, dengan sebagian melibatkan juga hukum dan sosiologi, tetapi teori etika filosofis di sini belum dimanfaatkan.

3. Etika bisnis lahir di Amerika Serikat: tahun 1970-an


Etika bisnis sebagai suatu bidang intelektual dan akademis dengan identitas sendiri mulai terbentuk di Amerika Serikat sejak tahun 1970-an. Jika sebelumnya etika membicarakan aspek-aspek moral dari bisnis di samping banyak pokok pembicaraan moral lainnya (etika-dalam-hubungan-dengan-bisnis), kini mulai berkembang etika bisnis dalam arti sebenarnya. Terutama ada dua faktor yang memberi kontribusi besar kepada kelahiran etika bisnis di Amerika Serikat pada pertengahan tahun 1970-an: sejumlah filsuf mulai terlibat dalam memikirkan masalah-masalah etis sekitar bisnis, dan etika bisnis dianggap sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang sedang meliputi dunia bisnis di Amerika Serikat. Kita akan memandang dua faktor ini dengan lebih rinci.

Jika sebelumnya hanya para teolog dan agamawan pada tahap ilmiah (= teologi) membicarakan masalah-masalah moral dari bisnis, pada tahun 1970-an para filsuf memasuki wilayah penelitian ini dan dalam waktu singkat men¬jadi kelompok yang paling dominan. Beberapa tahun sebelumnya, filsuf-filsuf lain sudah menemukan etika biomedis (disebut juga: bioetika) sebagai suatu bidang garapan yang baru. Sebagian terdorong oleh sukses usaha itu, kemudian beberapa filsuf memberanikan diri untuk terjun dalam etika bisnis sebagai sebuah cabang etika terapan lainnya. Bagi filsuf-filsuf bersangkutan sebenarnya langkah ini merupakan perubahan cukup radikal, karena suasana umum penelitian filsafat pada saat itu justru jauh dari masalah praksis. Pantas dicatat lagi, dalam mengembangkan etika bisnis para filsuf cenderung bekerja sama dengan ahli-ahli lain, khususnya ahli ekonomi dan manajemen. Dengan itu mereka meneruskan tendensi etika terapan pada umumnya, yang selalu berorientasi multidisipliner. Norman E. Bowie malah menyebut suatu kerja sama macam itu sebagai tanggal kelahiran etika bisnis, yaitu konferensi perdana tentang etika bisnis yang diselenggarakan di Universitas Kansas oleh Philosophy De-partement (Richard De George) bersama College of Business (Joseph Pichler) bulan November 1974. Makalah-makalahnya kemudian diterbitkan dalam bentuk buku: Ethics, Free Enterprise, and Public Policy: Essays on Moral Issues in Business (1978).(8)

Faktor kedua yang memacu timbulnya etika bisnis sebagai suatu bidang studi yang serius adalah krisis moral yang dialami dunia bisnis Amerika pada awal tahun 1970-an. Krisis moral dalam dunia bisnis itu diperkuat lagi oleh krisis moral lebih umum yang melanda seluruh masyarakat Amerika pada waktu itu. Sekitar tahun 1970 masih berlangsung demonstrasi-demonstrasi besar melawan keterlibatan Amerika dalam perang Vietnam. Karena perkem¬bangan perang ini, banyak orang mulai meragukan kredibilitas pemerintah federal di Washington dan para politisi pada umumnya. Krisis moral ini menjadi lebih besar lagi dengan menguaknya "Watergate Affair" yang akhirnya memaksa Presiden Richard Nixon mengundurkan diri (pertama kali dalam sejarah Amerika).11'1 Dilatarbelakangi krisis moral yang umum itu, dunia bisnis Amerika tertimpa oleh krisis moral yang khusus. Pada awal tahun 1970-an terjadi beberapa skandal dalam bisnis Amerika, di mana pebisnis berusaha menyuap politisi atau memberi sumbangan ilegal kepada kampanye politik. Yang mendapat publisitas paling luas antara skandal-skandal bisnis ini adalah "Lockheed Affair", kasus korupsi yang melibatkan perusahaan pesawat terbang Amerika yang terkemuka ini . Kasus korupsi dan komisi seperti itu mengakibatkan moralitas dalam berbisnis semakin dipertanyakan. Masyarakat mulai menyadari bahwa ada suasana kurang sehat dalam dunia bisnis dan bahwa krisis moral itu segera harus diatasi.

Sebagian sebagai reaksi atas terjadinya peristiwa-peristiwa tidak etis ini pada awal tahun 1970-an dalam kalangan pendidikan Amerika dirasakan ke-butuhan akan refleksi etika di bidang bisnis. Salah satu usaha khusus adalah menjadikan etika bisnis sebagai mata kuliah dalam kurikulum perguruan tinggi yang mendidik manajer dan ahli ekonomi. Keputusan ini ternyata berdampak luas. Jika etika bisnis menjadi suatu mata kuliah tersendiri, harus ada dosen, buku pegangan dan bahan pengajaran lainnya, pendidikan dosen etika bisnis harus diatur, komunikasi ilmiah antara para ahli etika bisnis harus dijamin dengan dibukanya organisasi profesi serta jurnal ilmiah, dan seterusnya. Misalnya, Norman E. Bowie, sekretaris eksekutif dari American Philosophical Association, mengajukan proposal kepada National Endoivment for the Humani¬ties (dari Kementerian Pendidikan Amerika) guna menyusun pedoman untuk pengajaran kuliah etika bisnis. Kelompok yang terdiri atas beberapa filsuf, dosen sekolah bisnis, dan praktisi bisnis ini diberi nama Committee for Education in Business Ethics dan membutuhkan tiga tahun untuk menyelesaikan laporannya pada akhir tahun 1980."01 Dengan demikian dipilihnya etika bisnis sebagai mata kuliah dalam kurikulum sekolah bisnis banyak menyumbang kepada perkembangannya ke arah bidang ilmiah yang memiliki identitas sendiri.

4.  Etika bisnis meluas ke Eropa: tahun 1980-an

Di Eropa Barat etika bisnis sebagai ilmu baru mulai berkembang kira-kira sepuluh tahun kemudian, mula-mula di Inggris yang secara geografis maupun kultural paling dekat dengan Amerika Serikat, tetapi tidak lama kemudian juga di negara-negara Eropa Barat lainnya. Semakin banyak fakultas ekonomi atau sekolah bisnis di Eropa mcncantumkan mata kuliah etika bisnis dalam kurikulumnya, sebagai mata kuliah pilihan ataupun wajib ditempuh. Pada tahun 1983 diangkat profesor etika bisnis pertama di suatu universitas Eropa (Universitas Nijenrode, Belanda). Sepuluh tahun kemudian sudah terdapat dua belas profesor etika bisnis di universitas-universitas Eropa. Perkembangan pesat ini cukup mengherankan, karena terjadi pada saat anggaran belanja uni-versitas di mana-mana diperketat akibat kesulitan finansial. Karena alasan itu di beberapa tempat chair dalam etika bisnis disponsori oleh dunia bisnis, seperti di Inggris pada sekolah bisnis Leeds, Manchester, dan London.

Pada tahun 1987 didirikan European Business Ethics Network (EBEN) yang bertujuan menjadi forum pertemuan antara akademisi dari universitas serta sekolah bisnis, para pengusaha dan wakil-wakil dari organisasi nasional dan intemasional (seperti misalnya serikat buruh). Konferensi EBEN yang pertama berlangsung di Brussel (1987), konferensi kedua di Barcelona (1989) dan selanjutnya ada konferensi setiap tahun: Milano (1990), London (1991), Paris (1992).

 Perkembangan etika bisnis


Sepanjang sejarah, kegiatan perdagangan atau bisnis tidak pernah luput dari sorotan etika. Perhatian etika untuk bisnis seumur dengan bisnis itu sendiri. Sejak manusia terjun dalam perniagaan, disadari juga bahwa kegiatan ini tidak terlepas dari masalah etis. Misalnya, sejak manusia berdagang ia tahu tentang kemungkinan penipuan. Dalam teks-teks kuno sudah dapat dibaca teguran kepada pemilik toko yang menipu dengan mempermainkan timbangan. Pe-dagang yang menipu langganan dengan menjual barangnya menurut peng-u kuran berat yang tidak benar, berlaku tidak etis."'1 Aktivitas perniagaan selalu sudah berurusan dengan etika, artinya selalu harus mempertimbangkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Memang benar, sejak ditemu-kannya bisnis, etika sudah mendampingi kegiatan manusiawi ini. 

Namun demikian, jika kita menyimak etika bisnis sebagaimana dipahami dan dipraktekkan sekarang, tidak bisa disangkal juga, di sini kita menghadapi suatu fenomena baru. Belum pernah dalam sejarah, etika bisnis mendapat per-hatian begitu besar dan intensif seperti sekarang ini. Etika bisnis mencapai status ilmiah dan akademis dengan identitas sendiri. Bagaimana perkembangan ini dapat dimengerti? Richard De George'71 mengusulkan untuk membedakan antara ethics in business dan business ethics, antara etika-dalam-bisnis dan etika bisnis. Maksudnya dapat dijelaskan sebagai berikut. Etika selalu sudah dikait-kan dengan bisnis. Sejak ada bisnis, sejak saat itu pula bisnis dihubungkan dengan etika, sebagaimana etika selalu dikaitkan juga dengan wilayah-wilayah lain dalam kehidupan manusia seperti politik, keluarga, seksualitas, berbagai profesi, dan sebagainya. Jadi, etika-dalam-bisnis atau etika-berhubungan-dengan-bisnis berbicara tentang bisnis sebagai salah satu topik di samping sekian banyak topik lainnya. Etika-dalam-bisnis belum merupakan suatu bidang khusus yang memiliki corak dan identitas tersendiri. Hal itu baru tercapai dengan timbulnya "etika bisnis" dalam arti yang sesungguhnya. Etika-dalam-bisnis mempunyai riwayat yang sudah panjang sekali, sedangkan umur etika bisnis masih muda sekali. Kita baru bisa berbicara tentang etika bisnis dalam arti spesifik setelah menjadi suatu bidang (field) tersendiri, maksudnya suatu bidang intelektual dan akademis dalam konteks pengajaran dan peneliti-an di perguruan tinggi. Etika bisnis dalam arti khusus ini untuk pertama kali timbul di Amerika Serikat dalam tahun 1970-an dan agak cepat meluas ke ka-wasan dunia lainnya. Dengan memanfaatkan dan memperluas pemikiran De George ini kita dapat membedakan lima periode dalam perkembangan etika-dalam-bisnis menjadi etika bisnis ini.

1.   Situasi dahulu


Berabad-abad lamanya etika berbicara pada taraf ilmiah tentang masalah ekonomi dan bisnis sebagai salah satu topik di samping sekian banyak topik lain. Pada awal sejarah filsafat, Plato, Aristoteles, dan filsuf-filsuf Yunani lain menyelidiki bagaimana sebaiknya mengatur kehidupan manusia bersama dalam negara dan dalam konteks itu mereka membahas juga bagaimana kehidupan ekonomi dan kegiatan niaga harus diatur. Dalam filsafat dan teologi Abad Pertengahan pembahasan ini dilanjutkan, dalam kalangan Kristen mau-pun Islam. Topik-topik moral sekitar ekonomi dan perniagaan tidak luput pula dari perhatian filsafat (dan teologi) di zaman modern.

Dengan membatasi diri pada situasi di Amerika Serikat selama paro pertama abad ke-20, De George melukiskan bagaimana di perguruan tinggi masalah moral di sekitar ekonomi dan bisnis terutama disoroti dalam teologi.

Pada waktu itu di banyak universitas diberikan kuliah agama di mana maha-siswa mempelajari masalah-masalah moral sekitar ekonomi dan bisnis. Pembahasannya tentu berbeda, sejauh mata kuliah ini diberikan dalam kalangan Katolik atau Protestan. Dalam kalangan Katolik, pada umumnya mata kuliah ini mendalami "Ajaran Sosial Gereja". Yang dimaksudkan dengannya adalah uraian sistematis dari ajaran para paus dalam ensiklik-ensiklik sosial, mulai dengan ensiklik Rerum Novarum (1891) dari Paus Leo XIII. Di sini disinggung banyak tema yang menyangkut moralitas dalam kehidupan sosial-ekonomi seperti hak pekerja atas kondisi kerja yang baik dan imbalan yang pantas; pen-tingnya nilai-nilai moral bertentangan dengan suasana materialistis dan konsumeristis; keadilan sosial dan upaya memperbaiki taraf hidup orang miskin; tanggung jawab negara-negara kaya terhadap negara-negara miskin, dan sebagainya. Dalam kalangan Protestan, buku teolog Jerman Reinhold Niebuhr Moral Man and Immoral Society (New York, 1932) menjalankan pengaruh besar atas pengajaran etika mengenai tema-tema sosio-ekonomi dan bisnis di per-guruan tinggi mereka.

Dengan demikian di Amerika Serikat selama paro pertama abad ke-20 etika-dalam-bisnis terutama dipraktekkan dalam konteks agama dan teologi. Dan pendekatan ini masih berlangsung terus sampai hari ini, di Amerika Serikat maupun di tempat lain. Para paus mengeluarkan ensiklik-ensiklik sosial baru sampai dengan Sollicitudo Rei Socialis (1987) dan Centesimus Annus (1991) dari Paus Yohanes Paulus II. Suatu contoh bagus khusus untuk Amerika Serikat adalah dokumen pastoral yang dikeluarkan oleh para uskup Amerika Serikat dengan judul Economic justicefor All. Catholic Social Teaching and the U.S. Economy (1986).

2.   Masa peralihan tahun 1960-an


Dalam tahun 1960-an terjadi perkembangan baru yang bisa dilihat sebagai persiapan langsung bagi timbulnya etika bisnis dalam dekade berikutnya. Dasa-warsa 1960-an ini di Amerika Serikat (dan dunia Barat pada umumnya) ditandai oleh pemberontakan terhadap kuasa dan otoritas, revolusi mahasiswa (mulai di ibukota Prancis bulan Mei 1968), penolakan terhadap establishment (kemapan-an). Suasana tidak tenang ini diperkuat lagi karena frustrasi yang dirasakan secara khusus oleh kaum muda dengan keterlibatan Amerika Serikat dalam perang Vietnam. Rasa tidak puas ini mengakibatkan demonstrasi-demonstrasi paling besar yang pernah disaksikan di Amerika Serikat. Secara khusus kaum muda menolak kolusi yang di mata mereka terjadi antara militer dan industri. Industri dinilai terutama melayani kepentingan militer. Serentak juga untuk pertama kali timbul kesadaran akan masalah ekologis dan terutama industri dianggap sebagai penyebab masalah lingkungan hidup itu dengan polusi udara, air, dan tanah serta limbah beracun dan sampah nuklir. Pada waktu yang sama timbul juga suatu sikap anti-konsumeristis. Suasana konsumerisme semakin dilihat sebagai tendensi yang tidak sehat dalam masyarakat dan di-akibatkan oleh bisnis modem antara lain dengan kampanye periklanan yang sering kali berlebihan. Semua faktor ini mengakibatkan suatu sikap anti-bisnis pada kaum muda, khususnya mahasiswa.

Dunia pendidikan menanggapi situasi ini dengan cara berbeda-beda. Salah satu reaksi paling penting adalah memberi perhatian khusus kepada social issues dalam kuliah tentang manajemen. Beberapa sekolah bisnis mulai dengan mencantumkan mata kuliah baru dalam kurikulumnya yang biasanya diberi nama Business and Society. Kuliah ini diberikan oleh dosen-dosen manajemen dan mereka menyusun buku-buku pegangan dan publikasi lain untuk me-nunjang mata kuliah baru itu. Salah satu topik yang menjadi populer dalam konteks itu adalah corporate social responsibility (tanggung jawab sosial perusaha¬an). Pendekatan ini diadakan dari segi manajemen, dengan sebagian melibatkan juga hukum dan sosiologi, tetapi teori etika filosofis di sini belum dimanfaatkan.


3.   Etika bisnis lahir di Amerika Serikat: tahun 1970-an


Etika bisnis sebagai suatu bidang intelektual dan akademis dengan iden¬titas sendiri mulai terbentuk di Amerika Serikat sejak tahun 1970-an. Jika se-belumnya etika membicarakan aspek-aspek moral dari bisnis di samping banyak pokok pembicaraan moral lainnya (etika-dalam-hubungan-dengan-bisnis), kini mulai berkembang etika bisnis dalam arti sebenarnya. Terutama ada dua faktor yang memberi kontribusi besar kepada kelahiran etika bisnis di Amerika Serikat pada pertengahan tahun 1970-an: sejumlah filsuf mulai terlibat dalam memikirkan masalah-masalah etis sekitar bisnis, dan etika bisnis dianggap sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang sedang meliputi dunia bisnis di Amerika Serikat. Kita akan memandang dua faktor ini dengan lebih rinci.

Jika sebelumnya hanya para teolog dan agamawan pada tahap ilmiah (= teologi) membicarakan masalah-masalah moral dari bisnis, pada tahun 1970-an para filsuf memasuki wilayah penelitian ini dan dalam waktu singkat menjadi kelompok yang paling dominan. Beberapa tahun sebelumnya, filsuf-filsuf lain sudah menemukan etika biomedis (disebut juga: bioetika) sebagai suatu bidang garapan yang baru. Sebagian terdorong oleh sukses usaha itu, kemudian beberapa filsuf memberanikan diri untuk terjun dalam etika bisnis sebagai sebuah cabang etika terapan lainnya. Bagi filsuf-filsuf bersangkutan sebenarnya langkah ini merupakan perubahan cukup radikal, karena suasana umum penelitian filsafat pada saat itu justru jauh dari masalah praksis. Pantas dicatat lagi, dalam mengembangkan etika bisnis para filsuf cenderung bekerja sama dengan ahli-ahli lain, khususnya ahli ekonomi dan manajemen. Dengan itu mereka meneruskan tendensi etika terapan pada umumnya, yang selalu berorientasi multidisipliner. Norman E. Bowie malah menyebut suatu kerja sama macam itu sebagai tanggal kelahiran etika bisnis, yaitu konferensi perdana tentang etika bisnis yang diselenggarakan di Universitas Kansas oleh Philosophy De-partement (Richard De George) bersama College of Business (Joseph Pichler) bulan November 1974. Makalah-makalahnya kemudian diterbitkan dalam bentuk buku: Ethics, Free Enterprise, and Public Policy: Essays on Moral Issues in Business (1978).(8)
Faktor kedua yang memacu timbulnya etika bisnis sebagai suatu bidang studi yang serius adalah krisis moral yang dialami dunia bisnis Amerika pada awal tahun 1970-an. Krisis moral dalam dunia bisnis itu diperkuat lagi oleh krisis moral lebih umum yang melanda seluruh masyarakat Amerika pada waktu itu. Sekitar tahun 1970 masih berlangsung demonstrasi-demonstrasi besar melawan keterlibatan Amerika dalam perang Vietnam. Karena perkem¬bangan perang ini, banyak orang mulai meragukan kredibilitas pemerintah federal di Washington dan para politisi pada umumnya. Krisis moral ini menjadi lebih besar lagi dengan menguaknya "Watergate Affair" yang akhirnya memaksa Presiden Richard Nixon mengundurkan diri (pertama kali dalam sejarah Amerika).11'1 Dilatarbelakangi krisis moral yang umum itu, dunia bisnis Amerika tertimpa oleh krisis moral yang khusus. Pada awal tahun 1970-an terjadi beberapa skandal dalam bisnis Amerika, di mana pebisnis berusaha menyuap politisi atau memberi sumbangan ilegal kepada kampanye politik. Yang mendapat publisitas paling luas antara skandal-skandal bisnis ini adalah "Lockheed Affair", kasus korupsi yang melibatkan perusahaan pesawat terbang Amerika yang terkemuka ini (bandingkan Bab 11, §4). Kasus korupsi dan komisi seperti 

4. Sikap modern dewasa ini


Hanya sepintas meninjau data sejarah dan budaya sudah cukup untuk menyadarkan kita tentang perbedaan sikap terhadap bisnis, dulu dan sekarang. Kalau sekarang kegiatan bisnis dinilai sebagai pekerjaan terhormat dan semakin dibanggakan sejauh membawa sukses, di masa silam tidak selalu begitu. Malah seperti telah kita lihat kadang-kadang tampak sikap sangat negatif. Kita bisa bertanya, mengapa dulu bisnis cukup lama mendapat nama begitu jelek? Sebabnya pasti berkaitan dengan pencarian untung sebagai tujuan bisnis. Pencarian untung sebagai motif utama bagi bisnis merupakan suatu fenomena modern. Sebagaimana ditegaskan oleh ekonom Amerika, Robert Heilbroner: "As a ubiquitous cfmracteristic of society, the profit motive is as modern an invention as printing". Kalau pencarian untung menjadi motif utama bagi bisnis, dengan sendirinya diakibatkan juga bahwa bisnis mengejar kepentingan diri. Siapa akan menyangkal kenyataan itu? Dan mencari kepentingan diri lebih lanjut disamakan dengan egoisme, yang tentu dinilai sebagai sikap yang tidak bagus dari sudut moral. Seorang egois terarah pada kepentingannya sendiri, sambil menutup mata untuk kepentingan orang Iain. Kalau perlu, ia malah tidak segan-segan mengorbankan kepentingan sesama kepada kepentingannya sendiri. Sikap ini dengan jelas tidak sesuai dengan moralitas yang benar. Tidak mengherankan, kalau di masa silam terutama pihak agama menolak sikap egoisme sebagai tidak etis dan menunjuk kepada perlunya altruisme. Sebagai lawan egoisme, altruisme adalah sifat watak yang memperhatikan dan mengutamakan kepentingan orang lain. Kalau perlu, malah dengan menganggap lebih rendah kepentingannya sendiri. Sudah jelas, altruisme adalah sikap yang sangat baik dan terpuji dari sudut moral.
Namun demikian, masih ada jalan tengah antara egoisme dan altruisme. Tidak benar bahwa mengejar kepentingan diri selalu sama dengan egoisme. Bisa juga orang mengejar kepentingan diri, sambil tetap memperhatikan ke-pentingan orang lain. Dalam periode modern, terutama Adam Smith (1723-1790) telah menekankan perbedaan antara kepentingan diri dan egoisme, justru dalam konteks perdagangan (lihat Bab 4, § 1, nr. 2). Orang yang terlibat dalam kegiatan bisnis, memang mencari kepentingan diri (ia tidak bermaksud melakukan karya amal), tapi tidak sampai merugikan kepentingan orang Iain. Sebaliknya, relasi ekonomis justru menguntungkan untuk kedua belah pihak sekaligus. Di antara semua relasi antar-manusia, barangkali inilah ciri khas yang paling mencolok pada relasi ekonomis. Tetapi serentak juga di sini tampak kebutuhan akan etika, dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang harus dipegang dalam kegiatan berbisnis. Melihat hakikat bisnis, di antara nilai dan norma itu barangkali yang paling penting ialah jangan merugikan kepentingan orang lain. Jika tujuan bisnis bukannya mengamalkan altruisme, melainkan mencari untung bagi dirinya sendiri, segera pintu terbuka lebar-lebar untuk aneka macam praktek jahat. Ada banyak jalan pintas untuk mencapai tujuan yang sama. Mencuri dan menipu, umpamanya, membawa keuntungan dengan cepat sekali. Tetapi dari kenyataan itu tidak boleh ditarik kesimpulan bahwa bisnis itu sen¬diri pekerjaan kotor. Kesimpulan yang betul adalah: janganlah bisnis sampai menjadi pekerjaan kotor. Bisnis harus tahu diri. Bisnis harus memperhatikan rambu-rambu moral. Bisnis membutuhkan etika.
Keprihatinan moral dengan bisnis kini tampak pada tahap lain lagi ke-timbang konteks tradisional. Kita hidup di zaman konglomerat dan korporasi multinasional. Kita hidup di zaman kapitalisme, bahkan sejak runtuhnya komunisme, kapitalisme tanpa antagonis. Bisnis telah menjadi big business. Ada kepentingan luar biasa besar yang diperjuangkan olehnya. Di berbagai kawasan dunia dewasa ini kekayaan perusahaan-perusahaan swasta besar melebihi kekayaan negara. Dengan akibat, bisnis mencapai posisi kekuasaan ekonomi yang besar. Karena itu kini banyak orang bertanya, apa yang akan terjadi "bila perusahaan-perusahaan menguasai dunia".,46) Keprihatinan dengan kekuasaan ekonomis di luar proporsi itu tampak juga di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.'47' Dalam sebuah seminar akhir tahun 1996, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas, Ginanjar Kartasasmita, mengemukakan bahwa 61,1 persen dari produksi nasional (Produk Domestik Bruto) dikuasai oleh 0,2 persen dari jumlah perusahaan yang ada di Indonesia. Angka 0,2 persen itu meliputi 66.248 perusahaan besar dan menengah. Sedangkan 38,9 persen PDB lainnya, dihasilkan oleh 99,8 persen perusahaan kecil yang jumlahnya melebihi 33,4 juta unit.'48' Kalau kita membatasi diri pada konglomerat-konglomerat raksasa di Indonesia selama Orde Baru, mungkin angka-angkanya lebih mengejutkan lagi.

Masalah etika bisnis terbesar dewasa ini pada dasarnya adalah masalah kuasa. Bisnis sekarang mewujudkan kuasa ekonomis yang luar biasa besar. Pusat finansial raksasa seperti Wall Street di New York menjadi simbol untuk situasi itu.,4,J) Sekurang-kurangnya bagi orang awam, apa yanb terjadi di situ berada di luar kontrol yang wajar. Dan sewaktu-waktu kita mendengar juga tentang skandal yang berasal dari situ. t50) Bagi negara pun kemungkinan kontrol agak terbatas, apalagi dalam sistem ekonomi pasar bebas yang konsekuen. Akan tetapi, kuasa yang tak terkontrol selalu mempunyai kecenderungan menyimpang atau menjadi korup. Yang dikatakan oleh Lord Acton (abad 19) tentang kuasa politik, berlaku juga bagi kuasa ekonomis seperti kita kenal sekarang ini: "Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely". Masalah etika politik yang terpenting adalah kuasa: bagaimana kuasa dapat dibatasi (tanpa mengurangi efisiensinya), supaya tidak disalahgunakan? Pertanyaan yang sama sekarang semakin relevan di bidang ekonomi juga. Karena kuasa ekonomis pun condong untuk disalahgunakan (demi keuntungan sebesar-besarnya), perlu dipikirkan cara-cara yang tepat untuk mengontrol dan dengan demikian membatasi kuasa itu. Di sini terletak salah satu tantangan terbesar bagi etika bisnis dan etika ekonomi dewasa ini.

Semuanya ini berlaku pada taraf nasional maupun internasional. Malah dalam era globalisasi ekonomi sekarang, masalahnya menjadi lebih pelik lagi. lika kuasa ekonomi bisa merajalela dengan leluasa, tidak bisa dihindarkan ekonomi-ekonomi lemah menjadi korban. Kuasa selalu dipegang oleh yang kuat dan secara alami yang kuat menindih yang lemah. Di sini bukan tempatnya untuk menguraikan semuanya ini dengan lebih rinci. Untuk sementara kita bisa membatasi diri pada prinsip: makin besar kepentingan-kepentingan yang digumuli bisnis, makin mendesak pula keikutsertaan etika. Perundingan-perundingan UNCTAD dalam Uruguay Rounds dan perundingan dalam rangka WTO sekarang sebenarnya sarat dengan persoalan etika yang berat.

 Daftar Isi Etika Bisnis

  1. Bisnis dan Etika dalam Dunia Modern, Tiga aspek pokok dari bisnis
  2. Bisnis Dilihat Dari Sudut Pandang Ekonomis
  3. Etika Bisnis Ditinjau Dari Sudut Pandang Moral
  4. Etika Bisnis Di Tinjau Dari Sudut Pandang Hukum
  5. Tolok ukur untuk tiga sudut pandang Ekonomis, Moral dan Hukum
  6. Apa itu etika bisnis? Pengertian Etika Bisnis
  7. Definisi Operasional Variabel, Jenis Barang Dagangan dan Kepadatan, Tujuan Suasana Toko
  8. Desain arsitektur, Mengalokasikan Modal Bisnis, Menentukan Harga Layanan, Tarif dan Harga Sebuah Kreativitas
  9. Perkembangan etika bisnis, Situasi dahulu, Masa Peralihan: tahun 1960-an
  10. Manajemen Bisnis ! Apa sih maksudnya ?

Postingan populer dari blog ini

Tolok ukur untuk tiga sudut pandang Ekonomis, Moral dan Hukum

Bisnis dan Etika dalam Dunia Modern, Tiga aspek pokok dari bisnis