Etika Bisnis Ditinjau Dari Sudut Pandang Moral
Peranan Sentral dari sudut pandang dalam bisnis harus tetap diakui, dan perlu segera ditambahkan adanya sudut pandang lain lagi yang tidak boleh diabaikan, yaitu sudut pandang moral. Hal itu bisa menjadi jelas dengan melanjutkan refleksi atas kasus-kasus tadi. Dalam kasus 1 (Industri kimia) memang sangat hakiki agar perusahaan kimia berhasil mempertahankan produktivitasnya. Namun demikian, dapat ditanyakan lagi apakah produktivitas boleh dipertahankan dengan segala cara.
Perusahaan kimia itu memproduksi bahan yang berbahaya. Dalam sejarah industri modern sudah terlalu banyak terjadi kecelakaan yang sebenarnya bisa dihindarkan. Para manajer pabrik memikul tanggung jawab besar, bila terjadi kecelakaan yang menewaskan para pekerja, merugikan kesehatan pekerja dan masyarakat di sekitar pabrik, atau merusak lingkungan. Mengejar keuntungan merupakan hal yang wajar, asalkan tidak merugikan orang lain. Jadi, ada batasnya juga dalam mewujudkan tujuan perusahaan. Selain aspek ekonomi dari bisnis, aspek moral juga penting untuk diperhatikan.
Selalu ada kendala etis bagi perilaku kita, termasuk juga perilaku ekonomis. Dalam mengejar tujuan kita (di bidang bisnis: mencari keuntungan) Tidak semuanya yang dapat kita lakukan itu dibolehkan kita lakukan juga. Tapi kita juga harus menghormati kepentingan dan hak orang lain. Pantas diperhatikan lagi bahwa dengan itu kita sendiri tidak dirugikan. Sebaliknya, menghormati kepentingan dan hak orang lain harus besar dalam industri kimia, perusahaan bersangkutan itu sendiri bisa mengalami kerugian besar. Bukan saja kerugian pada gedung dan peralatan, tetapi juga kerugian karena uang yang harus dikeluarkan untuk membayar ganti rugi kepada korban dan pihak yang dirugikan. Dan yang dialaminya bukan saja kerugian materil, tetapi nama baiknya jatuh juga karena ternyata lalai dalam memperhatikan keselamatan para pekerja dan kebersihan lingkungan. Akibat kecelakaan bisa begitu besar, sehingga perusahaan itu tidak bertahan hidup lagi. Perilaku etis di sini penting juga demi kelangsungan hidup bisnis itu sendiri dan demi ketahanan posisi finansialnya. Bisnis yang etis tidak membawa kerugian bagi bisnis itu sendiri, terutama kalau dilihat dalam perspektif jangka panjang.
Dalam kasus 2 (Pemasok komputer) kepala bagian penjualan tentu tergiur oleh order yang sangat menguntungkan. Sampai ia membuat janji yang barangkali tidak dapat ditepatinya. Di sini langsung muncul aspek etisnya: janji harus ditepati. Kalau demi keuntungan besar kepala bagian penjualan membuat janji yang mungkin tidak bisa ditepati, ia menipu mitra bisnisnya. Lebih baik ia berterus terang dalam menjelaskan kesulitan yang dihadapinya dalam memenuhi order besar itu. Jika nanti ia tidak bisa memenuhi janjinya, ia merugikan si pemesan, karena PT W.V.K. akan mengalami kesulitan besar, bila penggantian komputer tidak bisa diselesaikan menurut jadwal waktu yang direncanakan. Membaca data-data kasus, kita mendapat kesan bahwa tentang masalah ini tidak dibuat perjanjian resmi, hitam atas putih.
Rupanya janji kepala bagian penjualan itu hanya lisan. Dalam dunia bisnis sering kali terjadi begitu. Karena itu kepercayaan (trust) merupakan suatu nilai sangat hakiki dalam kalangan bisnis. Kita bisa mengatur suatu transaksi dalam kontrak resmi sampai dengan detail-detail terkecil sekalipun, namun yang terpenting ialah kita selalu bersedia memenuhi keinginan dan maksud mitra yang sudah kita ketahui. Kontrak yang paling bagus pun pada saat tertentu harus diinterpretasikan. Karena itu tidak boleh tidak kepercayaan tetap diperlukan sebagai suatu unsur hakiki dalam hubungan pebisnis dengan mitranya. Dalam konteks ini perlu ditekankan lagi, perusahaan pemasok komputer itu sendiri dalam hal ini sangat berkepentingan. Jika nanti kepala bagian penjualan tidak bisa memenuhi janjinya, ia tidak saja merugikan si pemesan. Ia merugikan juga perusahaannya sendiri. Nama baik merupakan aset yang sangat berharga bagi suatu perusahaan. Citranya akan tercoreng sekali bila diketahui bahwa janjinya tidak bisa diandalkan. Dipandang dalam perspektif lebih luas, di sini berlaku juga bahwa bisnis yang etis adalah bisnis yang paling menguntungkan.
Dalam kasus 3 (Perusahaan asbes) juga tidak begitu sulit untuk menemukan suatu aspek etis. Perusahaan Amerika "Kansas Asbestos Company" memang mendapat untung dengan memindahkan pabriknya ke negara Afrika Barat. Mungkin pemerintah negara itu malah mendukung, karena mereka sangat membutuhkan perluasan kesempatan kerja. Mungkin mereka tahu juga tentang bahaya bahan asbes bagi kesehatan para pekerja. Akan tetapi, pada kenyataannya keperluan yang mendesak selalu dirasakan dengan lebih tajam daripada bahaya yang masih jauh. Biarpun tidak bertentangan dengan kemauan negara penerima, apakah masih bisa dinilai etis bila "Kansas Asbestos Company" merusak kesehatan para pekerja Afrika dengan cara yang tidak diperbolehkan di negerinya sendiri? Yang bisa dilakukan untuk meningkatkan keuntungan, apakah dari sudut moral boleh dilakukan juga?
Hal yang sama dapat dikatakan pula tentang kasus 4 (Kerahasiaan bank). Dengan membuat peraturan ketat tentang kerahasiaan, bank-bank di negara-negara kecil bisa menarik banyak dana dari luar negeri. Mereka tidak menghiraukan asal-usul atau halal tidaknya dana itu. Akibatnya, banyak uang yang berasal dari sumber kriminal mencari tempat yang aman di bank-bank tersebut, seperti uang hasil korupsi pejabat atau perdagangan obat terlarang. Apakah cara perbankan ini masih bisa disebut etis? Tentu saja, mereka secara langsung tidak melakukan hal-hal yang kurang bermoral, seperti mencuri, merampok, menipu, dan sebagainya. Tetapi secara tidak Iangsung mereka mehndungi kejahatan. Uang dari sumber kriminal yang tidak aman di negerinya sendiri, mendapat tempat yang aman di bank-bank ini. Dengan demikian mereka melibatkan diri dalam kegiatan kurang etis. Menurut penilaian moral yang umum, bukan saja mencuri adalah perbuatan kurang etis, menadah pun adalah perilaku yang tidak bermoral. Guna memperoleh keuntungan, bank-bank ini menutup mata terhadap asal-usul uang yang mereka terima sebagai deposito. Itu berarti, demi keuntungan mereka bersedia melibatkan diri dalam tindakan kejahatan. Cara perbankan ini tidak dapat disebut etis, lebih-lebih karena di negara-negara lain tidak dimungkinkan. Negara-negara asal dana itu dalam hal ini dirugikan.
Bisnis yang baik (good business) bukan saja bisnis yang menguntungkan. Bisnis yang baik adalah juga bisnis yang baik secara moral. Malah harus ditekankan, arti moralnya merupakan salah satu arti terpenting bagi kata "baik". Perilaku yang baik juga dalam konteks bisnis merupakan perilaku yang sesuai dengan norma-norma moral, sedangkan perilaku yang buruk bertentangan dengan atau menyimpang dari norma-norma moral. Suatu perbuatan dapat dinilai baik menurut arti terdalam justru kalau memenuhi standar etis itu.